Oleh : Syaifullah Yusuf dan Heru Wijanarko
A. PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Pendidikan
dalam masyarakat modern dewasa ini, seperti di Indonesia telah menjadi wacana publik. Mulai berkembangnya pengkajian tentang kebijakan pendidikan ke
ranah publik dapat kita cermati mengenai pelaksanaan amandemen-amandemen keempat Undang
Undang Dasar yang mengatakan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran
Pendapatan
dan Belanja
Daerah diperuntukkan bagi pengembangan pendidikan
nasional.[1]
Terlepas dari itu semua, pada zaman modern ini
setidaknya telah membuka wawasan bagi seluruh masyarakat Indonesia,
baik masyarakat modern atau masyarakat tradisional terkait pentingnya pendidikan berikut upaya-upaya/cara untuk
mencapai tujuan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu kunci untuk membuka wawasan masyarakat.
Selain dari pendidikan, politik yang ada dalam masyarakat besar maupun kecil
perlu kiranya dibedah selebar-lebarnya agar masyarakat paham akan pentingnya
pendidikan yang ada di Indonesia dan memanfaatkan pendidikan dengan
sebaik-baiknya. Masyarakat
harus paham betul pentingnya politik pendidikan karena muara politik pendidikan
menuju kepada kebijakan pendidikan, bukan semata-mata politisasi pendidikan.
Hal ini perlu dipertegas karena bagi masyarakat kecil atau tradisional beranggapan bahwa politik adalah kotor dan lain
sebagainya. Sehingga masih menjadi perdebatan apakah dalam dunia pendidikan ada
yang menggunakan politik atau tidak.
Sebelum mendiskusikan lebih jauh mengenai politik dan pendidikan, ada baiknya untuk mengetahui apa arti dari politik itu sendiri.
Menurut Muhammad Daud Ali dalam bukunya “Pendidikan Agama Islam” (Dalam Amnur, 2000: 3) disebutkan : politik
itu berasal dari bahasa latin Politicus atau bahasa Yunani Politicos
yang artinya adalah sesuatu yang berhubungan dengan warga negara atau warga
kota.[2]
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian politik sebagimana yang
ditulis: (1) Pengetahuan tentang ketatanegaraan atau kenegaraan, yaitu mengenai
sistem pemerintahan dan sebagainya; (2) segala urusan dan tindakan,
kebijaksanaan, siasat dan sebagainya, tentang pemerintahan ataupun terhadap
negara lain; (3) Kebijakan, cara bertindak di dalam menghadapi suatu masalah tertentu.
Secara singkat dikatakan bahwa politik adalah suatu cara atau metode
mempengaruhi orang atau pihak lain untuk mencapai tujuan kelompok.[3]
Setelah mengetahui arti politik, maka setiap
individu harus mengetahui perbedaan antara politik pendidikan dan pendidikan
politik. Keduanya hampir sama namun sangatlah berbeda. Menurut Amnur (2007: 5)
bahwa politik pendidikan (polpen) adalah metode mempengaruhi pihak lain untuk
mencapai tujuan pendidikan. Politik pendidikan juga berorientasi pada bagaimana
pendidikan dapat dicapai dengan baik. Berbeda dengan pendidikan politik
(penpol), yakni usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik bagi perannya di
dunia politik. Dan pendidikan politik ini juga menjadikan manusia melek akan
politik.[4] Sementara Ki Supriyoko memberikan penjelasan tentang politik
pendidikan Nasional sebagai suatu pendekatan, metoda atau strategi untuk
mempengaruhi pihak-pihak yang berkait langsung dan tidak langsung dengan pengambilan
kebijakan pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.[5]
Dari uraian terkait pendidikan
politik seperti tertulis di atas, penulis dapat menarik intisari tentang
pendidikan politik setidaknya memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :
1.
Adanya suatu pendekatan, metoda ataupun strategi yang digunakan
untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan;
2.
Adanya pihak yang dipengaruhi; dan
3.
Adanya produk dari pengambilan suatu kebijakan
Setelah
kita mengetahui arti dari politik pendidikan, maka pada bagian pembahasan
berikutnya akan ditampilkan topik tentang keterkaitan antara politik dan
pendidikan dalam sistem sosial politik, di mulai dari dunia Islam Klasik, kemudian
keterkaitan antara politik dan pendidikan dalam sistem sosial politik di
Indonesia, baik pascakolonial maupun perkembangan dewasa ini menyangkut
permasalahan seputar pendidikan dan sikap kelompok,
pendidikan dan dunia kerja, format hubungan antara politik
dan pendidikan, ide non-political school, hambatan kedepan serta perkembangan di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian
pada bagian pendahuluan tentang politik dan pendidikan sebagai sistem sosial
politik, maka penulis merumuskan masalah yaitu :
1.
Bagaimana format hubungan antara politik dan pendidikan dalam
sistem sosial politik ?
2.
Bagaimana perkembangan politik pendidikan di kalangan
masyarakat Indonesia ?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.
Untuk mengetahui format hubungan antara politik dan pendidikan
dalam sistem sosial politik;
2. Untuk mengetahui perkembangan politik pendidikan di kalangan
masyarakat Indonesia.
D. PEMBAHASAN
a.
Format Hubungan antara Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam
sistem sosial politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara
berkembang. Meskipun pendidikan dan politik berposisi sebagai dua elemen penting dalam sistem sosial politik,
namun sering dikaji sebagai bagian-bagian yang terpisah. Tentu saja hal
demikian tidak tepat karena pendidikan dan politik bahu membahu dalam proses pembentukan
karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, satu sama lain saling
menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan berperan
penting dalam membentuk perilaku politik masyarakat sehingga membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di suatu negara. Dari pernyataan
tersebut dapat disimpulkan ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap
negara. Hubungan tersebut adalah realitas empiris yang telah terjadi sejak awal
perkembangan peradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuwan.
Menurut M. Sirozi (2010: 1) gambaran jelas tentang keterkaitan antara pendidikan dan politik dapat kita telusuri di dunia Islam, dimana sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan
para ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan sebagai upaya untuk memperkuat posisi sosial politik kelompok dan
pengikutnya. Lebih lanjut M.
Sirozi mengutip sebuah analisis dari
Abdurrasyid (1994) tentang pendidikan pada masa Islam klasik dengan hasil kesimpulan dalam sejarah perkembangan Islam, Institusi politik ikut mewarnai
corak pendidikan yang dikembangkan. Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan
pendidikan waktu itu, menurut Rasyid, tidak hanya sebatas dukungan
moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang administrasi,
keuangan dan kurikulum (1994: 3). Dia menulis sebagai berikut.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa lembaga pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh
masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekusaan politik para
penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Di lain pihak, ketergantungan pada uluran tangan para
penguasa secara eonomis, membuat lembaga-lembaga tersebut harus sejalan dengan
nuansa politik yang berlaku (Rasyid, 1994: 6).
Di antara lembaga pendidikan Islam yang menjadi
corong pesan-pesan politik, menurut Rasyid (1994: 6), adalah madrasah
Nizhamiyah di Baghdad.[6]
Dia menyimpulkan dari analisis terhadap kasus madrasah Nizhamiyah
sebagai berikut.
Kedudukan
politik di dalam Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas
politik, syari’at Islam sulit bahkan mustahil untuk ditegakkan. Kekuasaan
adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam... Pendidikan bergerak dalam
usaha menyadarkan umat untuk menjalankan syari’at. Umat tidak akan mengerti
syari’at tanpa adanya pendidikan. Bila politik (kekuasaan) mengayomi dari atas,
maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah (Rasyid, 1994: 15).
Kutipan di atas menegaskan bahwa hubungan antara politik
dan pendidikan di dalam Islam tampak sedemikian erat. Perkembangan
kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para
penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan
dan mempertahankan kekuasaan mereka. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan
pemerintahan Islam, Menurut Abdul Ghaffar Aziz (1993: 95) di dalam M. Sirozi (2010: 3), adalah “menegakkan kebenaran dan keadilan. Tujuan itu
tidak mungkin tercapai kecuali dengan melaksanakan syari’at. Syari’at tidak
akan berjalan bila umat tidak memahami ajaran Islam”.[7]
Menurut M. Sirozi (2010: 4) selain karena faktor religius bahwa agama Islam sangat
menjunjung aktivitas kependidikan, perhatian besar para pemimpin Islam terhadap
masalah pendidikan didorong oleh besarnya peran lembaga-lembaga pendidikan
dalam penyampaian misi-misi politik. Pendidikan sering dijadikan media dan
wadah untuk menanamkan ideologi negara atau tulang yang menopang kerangka
politik. Sjalabi mencatat bahwa Khalifah Al-Makmun memolitisasi majelis munazharah
dalam rangka menyebarkan paham Mu’tazilah sebagai mazab resmi negara waktu itu
melalui peristiwa Inquisisi, yaitu penyelidikan atau interogasi (Al-Mihna) terhadap
para ulama dan pejabat penting.[8]
Kepada mereka ditanyakan apakah Al-Qur’an itu Qadim atau Hadis (Dikutip dalam
Rayid, 1994: 16). Melalui inquisisi para ulama, pilar penopang lembaga
pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan secara tidak langsung dipaksa
menerima paham Mu’tazilah, ideologi resmi penguasa.
Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para
pejuang yang militan dalam memperluas peta politik, tetapi juga para ulama yang
berhasil membangun masyarakat yang sadar hukum. Seiring dengan perluasan peta
politik dan pertambahan pemeluk Islam, juga terjadi perkembangan lembaga
(intsitusi) pendidikan dalam jumlah maupun varietasnya. Di dalam sejarah Islam
tercatat bahwa pusat pendidikan yang pertama kali muncul adalah rumah Arqam Ibn
Abi Arqam, yakni ketika Nabi berada di Mekkah[9]
(Rasyid, 1994: 24). Selanjutnya pada masa Bani Umayah, lembaga-lembaga
pendidikan Islam tersebut sudah lebih variatif dengan lahirnya Kuttab[10]
dan dijadikan rumah-rumah pembesar kerajaan sebagai tempat belajar.
Menurut Rasyid (1994: 33) di
dalam M. Sirozi (2010: 5-6) menyimpulkan bahwa para penguasa Islam senantiasa terlibat langsung dalam
persoalan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama yang totaliter jam’i,
mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari makan dan minum,
tatacara berumahtangga, urusan sosial kemasyarakatan, sampai pada ibadat
semuanya diatur oleh syari’at. Untuk mengetahui bagaimana hidup yang Islami,
seorang Muslim mesti terlibat dalam dunia pendidikan. Kedua, karena
motivasi politik, sebab politik dan Agama sulit untuk dipisahkan dalam Islam.
Para penguasa Muslim sering menjadikan kekuasaan sebagai alat
untuk menanamkan paham-paham keagamaan. Inilah yang dilakukan oleh dinasti
Buwaih, Fatimiyah dan Khalifah Al-Makmun. Dengan kekuasaan mereka menanamkan
ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara penguasa dan
masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-masalah kenegaraan.
Di negara-negaa Barat, kajian antara hubungan pendidikan
dan politik dimulai oleh Plato dalam bukunya Repuplic.[11]
Walaupun utamanya membahas berbagai persoalan kenegaraan, buku tersebut
juga membahas hubungan antara ideologi dan institusi negara dengan tujuan dan
metode pendidikan. Berikut ini adalah kesan mendalam Allan Bloom (1987: 380)
tentang Republic:
For me (Republic is) the book on education, because it really explains to
me what I experience as a man and a teacher, and I have almost always used it
to point out what we should not hope for, as a teaching of moderation and resignation.
Plato mendemonstrasikan dalam buku tersebut bahwa dalam
budaya Helenik, sekolah adalah salah satu aspek kehidupan yang terkait
dengan lembaga-lembaga politik. Ia menjelaskan bahwa setiap budaya
mempertahankan kontrol atas pendidikan di atas kelompok-kelompok elit yang secara terus
menerus menguasai kekuasaan politik, ekonomi, agama dan pendidikan.
Plato menggambarkan adanya hubungan dinamis antara aktivitas kependidikan dan
aktifitas politik. Keduanya seakan dua sisi dari satu koin,
tidak mungkin terpisahkan. Walaupun sangat umum dan singkat, analisis Plato
tersebut telah meletakkan fundamental bagi kajian hubungan politik dan
pendidikan di kalangan ilmuwan generasi berikutnya.
Dalam ungkapan Albernethy dan Coombe (1965: 287) di dalam M. Sirozi (2010: 7), education and politics are inextricably linked (pendidikan
dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan). Menurut mereka (1965: 289),
hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat
terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitude),
masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendikia (the
political role of the intelligentsia). Kesempatan dan prestasi pendidikan
pada suatu kelompok masyarakat, menurut mereka, dapat memengaruhi akses
kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik dan ekonomi.
Perbedaan signifikan antarberbagai kelompok masyarakat yang disebabkan oleh
perbedaan pendidikan dapat dilihat pada distribusi kekuasaan politik dan
ekonomi serta kesempatan kerja, khususnya pada sektor pelayanan publik. Di negara-negara
pascakolonial kelompok masyarakat yang mendapat privilese pendidikan lebih mampu melakukan kosolidasi
kekuatan, lalu muncul menjadi kelompok penguasa yang menguasai partai-partai
politik dan sektor pelayanan publik. Privilese
atau diskriminasi pendidikan bisa
terjadi karena alasan-alasan budaya atau agama.
Diskriminasi seperti ini
sangat nyata dalam kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia.[12] M. Sirozi mencatat beberapa
karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda: kolonialistik, intelektualistik,
heterogen, diskriminatif dan self-serving, diarahkan semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan
pendidikan tersebut berdampak kepada kehidupan masyarakat pada waktu itu, yaitu
(1) menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan kelompok
non-Muslim; (2) menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara
kelompok minoritas angkatan Muda Indonesia dari kalangan menengah ke atas dan
angkatan Muda Indonesia dari keluarga biasa; (3) menciptakan polarisasi sosial
tanpa memedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4) menghambat perkembangan kaum
pribumi (Sirozi, 1998: 17-29). Pada masa awal kemerdekaan, kaum nasionalis
dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.
1.
Pendidikan Dan Sikap Kelompok
Dalam banyak kasus, hubungan kekuasaan antarberbagai
kelompok masyarakat banyak dipengaruhi oleh kesempatan belajar dan intensitas
respons mereka terhadap pendidikan Barat. Ketika bangsa Indonesia baru merdeka,
partai-partai politik dan lembaga-lembaga kenegaraan banyak dikuasai oleh
tokoh-tokoh sekuler berpendidikan Barat yang tergabung dalam
organisasi-organisasi Nasionalis, seperti Boedi Oetomo dan Partai Nasionalis
Indonesia (PNI).
Kelompok masyarakat yang tertekan dan menjadi korban
imperialisme budaya cenderung menginginkan sistem pendidikan terpisah, dalam
rangka melindungi identitas kelompok mereka. Inilah yang terjadi pada sistem
pendidikan Islam tradisional di Indonesia, khususnya pesantren. Di bawah tekanan
kelompok-kelompok bahasa dan agama minoritas, beberapa pemerintah memenuhi
tuntutan mereka, sementara yang lainnya memaksakan penyeragaman sistem
pendidikan dengan harapan dapat mengeliminasi bahaya laten
perpecahan sosial. Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memberi
peluang kepada beberapa kelompok etnis dan keagamaan untuk mengembangkan
pendidikan tersendiri sehingga lahirlah sekolah Arab, Sekolah Cina, Sekolah Kristen,
Sekolah Islam, Sekolah Budha, dan Sekolah Hindu.
Menurut Abernethy dan Coombe (1965: 290) di dalam M. Sirozi (2010: 10) menyatakan bahwa “Bertahan atau tidaknya sistem pendidikan
tunggal dalam masyarakat pluralis umumnya tergantung pada dua hal, yakni sistem
tersebut memberi kesempatan yang sama (equality of oppurtunity) pada
semua kelompok masyarakat, dan generasi muda mengalami bahwa belajar bersama
dapat mencairkan perbedaan-perbedaan sosial mereka.”
Lebih lanjut M. Sirozi (2010: 10) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, banyak pemimpin
yang berasal dari sekolah yang sama. Meskipun mereka berbeda dalam hal daerah,
agama dan suku. Akbar Tanjung yang berasal dari Sibolga, misalnya ternyata
berasal dari SMP yang sama dengan Megawati yang dibesarkan di Jakarta, yaitu
SMP Cikini. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tidak ada Equality of
Oppurtunity dalam sistem pendidikan nasional. Kesempatan yang sama telah
memungkinkan anak-anak negeri yang memiliki latarbelakang sosial budaya
berbeda-beda untuk belajar bersama dan mencairkan perbedaan-perbedaan sosial
dan ekonomi di antara mereka.
2.
Pendidikan Dan Dunia Kerja
Pendidikan dan dunia kerja memiliki hubungan yang sangat
kompleks. Salah satu inovasi paling radikal yang disebabkan
oleh pendidikan adalah meningkatnya ambisi pribadi. Pendidikanlah yang membuat
jutaan anak petani di negara-negara berkembang menilai rendah profesi sebagai
petani dan bertransmigrasi ke daerah perkotaan untuk mendapatkan pekerjaan yang
dinilai lebih menjanjikan, baik dari segi ekonomi maupun prestise sosial.
Mereka pergi meninggalkan desa-desa subsisten untuk memburu pekerjaan yang
mereka nilai lebih pantas buat mereka, meskipun harus bertransmigrasi jauh meninggalkan kampung halaman dan basis sosio-kultural mereka.
Namun, tingkat pendidikan dan keterampilan yang tidak
memadai seringkali membuat mereka gagal dan perburuan mereka ke wilayah
perkotaan sering berakhir dengan kekecewaan. Untuk mempertahankan ambisi dan
atau menghindari rasa malu pulang kampung dengan kegagalan, banyak dari mereka
yang memaksakan diri tinggal di kota meskipun dengan mengarungi hidup dengan
kondisi seadanya. Hal ini tampak jelas pada kehidupan para buruh yang tinggal
di sekitar wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi (JaBoTaBek). Banyak di antara mereka yang hidup dengan upah rendah
dan tinggal di rumah sewaan yang sederhana. Akibatnya, semakin
hari semakin banyak warga perkotaan yang menyandang predikat pengangguran.
Kelompok “pengangguran” ini sering kali menjadi “dinamit politik” yang dengan
mudah dapat dipicu oleh kelompok-kelompok politik tertentu untuk mendapatkan
keuntungan politik. Para buruh sering kali menjadi elemen utama dalam berbagai
unjuk rasa politik.
Masalah pengangguran menjadi ujian penting bagi
pemerintah di negara-negara berkembang. Mereka dituntut untuk mengimbangi
keberhasilan pendidikan dengan ketersediaan lapangan kerja. Di satu pihak,
ekspansi pendidikan turut serta melahirkan instabilitas karena pendidikan
melahirkan tuntutan yang seringkali tidak dapat dijawab oleh sistem politik. Di
pihak lain, tersedianya pendidikan yang cukup di berbagai jenjang adalah persyaratan yang diperlukan untuk menciptakan stabilitas
politik. Hanya dengan sumber daya manusia yang terlatih dan kesempatan
kerja yang memadai pemerintah dan birokrasinya dapat memenuhi tuntutan publik,
dan hanya publik yang terdidik yang dapat diminta turut serta bertanggungjawab
dalam pembangunan bangsa (nation-building).
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi
pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun pada dataran kebijakan.
Misalnya filsafat pendidikan di suatu negara seringkali merupakan refleksi
prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya,
Filsafat Pendidikan Nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang
terdapat pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dataran kebijakan,
sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh
pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada
pada pemerintah tersebut. Abernethy dan Coombe (1965: 287) menulis sebagai
berikut.
A goverment’s education policy reflects, and sometimes betrays, its view of
society or political creed. The formulation of policy, being a function of
goverment, is essentially part of the political process, as are the demands
made on goverment by the public for its revision (Kebijakan pendidikan suatu pemerintahan merefleksikan
dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau keyakinan politik.
Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara esensial, merupakan
bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik terhadap
pemerintah untuk melakukan perubahan).
Pada gilirannya, implementasi dari suatu kebijakan
pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai kebijakan pendidikan
berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan pendidikan para stakeholder
pendidikan, terutama orangtua dan peserta didik serta masyarakat pada umumnya. Abernethy dan Coombe (1965: 287) mencatat empat
aspek kehidupan masyarakat yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan
pendidikan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu lapangan kerja, mobilitas sosial,
ide-ide dan sikap. Mereka menulis
And the implementation of education policy has political consequences by
affecting, among other things, types and levels of employment, sosial mobility
and the ideas and the attitudes of the population (Dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai
konsekuensi politik dengan memengaruhi antara lain jenis dan jenjang pekerjaan,
mobilitas sosial, dan ide-ide dan sikap-sikap masyarakat).
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam
suatu masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika
tersebut cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara
tersebut terjadi lebih intens. Intensitas perubahan tersebut sangat nyata dalam
proses yang menghantarkan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Abernethy
dan Coombe (1965: 287) mengamati hal-hal berikut ini.
In general, the political significance of education in contemporary
societies increases with the degree of change a society in undergoing. The
massive changes which developing countries have already experienced and those,
whether induced of not, which are in process, render all the more conspicuous
the reciprocal relationship between politics and education in these areas (Secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam
masyarakat kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang
berlangsung dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh
negara-negara berkembang dan perubahan-perubahan baik yang disengaja atau tidak
disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbalbalik
antara politik dan pendidikan).
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal. Pertama,
eratnya hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua,
besarnya pengaruh hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial
politik masyarakat. Ketiga, besarnya peran persekolahan modern dalam
keruntuhan kolonialisme. Abernethy dan Coombe (1965: 287) menulis sebagai
berikut.
Impressive evidence of this relationship (between education and politics)
may be found in the progress of colonies toward independence. The contribution
of Western education to the eclipse of Western colonialism is now fairly well
understood, at least schematically (Bukti impresif tentang hubungan (antara pendidikan dan politik) dapat
dilihat pada perjalanan negara-negara jajahan menuju kemerdekaan. Kontribusi pendidikan
barat terhadap keterpurukan kolonialisme barat saat ini cukup dimengerti,
paling tidak secara sistematik).
Para penghancur kolonialisme adalah para pemimpin yang
dididik oleh sekolah-sekolah kolonial. Abernethy dan Coombe
(1965: 287) menambahkan penjelasan sebagai berikut.
The crux of the matter is that the successive generations of who became nationalist leaders
had attended colonial school and metropolitan universities. The values, the
vocabulary, and the organisational methods the derived from the political
traditions of the West were employed, succesfully in the long run in combating
colonial rule (Inti persoalan adalah dari generasi ke
generasi para pemimpin nasionalis adalah mereka yang mengenyam pendidikan di
sekolah-sekolah kolonial dan universitas-universitas metropolitan. Nilai-nilai,
kosakata dan metode-metode organisasi yang mereka contoh dari tradisi politik
di Barat mereka terapkan dan sukses dalam jangka waktu lama untuk menyerang
penguasa kolonial).
Besarnya peran sistem persekolahan dalam meruntuhkan
kolonialisme terlihat jelas dalam pengalaman bangsa Indonesia. Pada satu sisi,
kebijakaan politik pemerintah kolonial, politik etis, misalnya, telah
memperluas akses pendidikan bagi kaum pribumi, khususnya para aktivis nasionalis.
Pada sisi lain, bekal pendidikan yang diperoleh telah memperluas wawasan sosial
politik mereka dan pada saat yang sama memperkuat sentimen kebangsaan mereka.
Wawasan dan sentimen kebangsaan itulah yang kemudian memacu aktivitas politik
mereka dan menumbuhkan semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial pada
waktu itu.
Pemerintah kolonial pada waktu itu tentu saja berharap
bahwa bekal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan loyalitas tokoh-tokoh
pribumi. Namun, kenyataan berkata lain, tokoh-tokoh tersebut berkembang menjadi
figur utama dalam pergerakan nasionalis yang menggugat kolonialisme. Inilah
yang terjadi pada sosok Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo dan tokoh-tokoh
nasionalis lainnya. Terlepas dari berbagai implikasi sosial politik yang menyertainya,
pengalaman pendidikan dan kiprah politik tokoh-tokoh nasionalis tersebut
mempertegas eratnya hubungan antara pendidikan dan politik.
3.
Format Hubungan
Hubungan antara politik dan pendidikan terwujud ke dalam
berbagai bentuk yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial
politik dimana hubungan itu terjadi. Bentuk hubungan tersebut berbeda-beda dari
satu masyarakat ke masyarakat lainnya. Dalam suatu masyarakat, hubungan tersebut
bisa saja sangat kuat dan riil dan dalam masyarakat lainnya hubungan tersebut
bisa saja lemah dan tidak nyata. Pola hubungan antara pendidikan dan politik di
negara-negara berkembang berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Dalam masyarakat yang lebih primitif yang berdasarkan pada basis kesukuan (Tribal-based
societies) misalnya, lazim bagi orang tua dari satu suku memainkan dua
peran, sebagai pemimpin politik dan sebagai pendidik. Mereka membuat
keputusan-keputusan penting dan memastikan bahwa keputusan-keputusan ini
diimplementasikan dan diterapkan. Mereka juga mempersiapkan generasi muda untuk
memasuki kehidupan dewasa dengan mengajarkan mereka teknik-teknik berburu dan
mencari ikan, metode-metode berperang dan sebagainya. Selain itu,
mereka juga menanamkan pada generasi muda mereka kepercayaan, nilai-nilai dan
tradisi serta mempersiapkan mereka untuk berperan secara politis.
Dalam masyarakat yang lebih maju dan berorientasi
teknologi, serta mengadopsi nilai-nilai dan lembaga-lembaga
Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik berubah dari pola
tradisional kepada pola modern. Di banyak negara berkembang, dimana pengaruh
modernisasi sangat kuat, pola hubungan pendidikan dan politik umumnya sama
dengan hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Ada satu
perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal
memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik,
dan dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di
sebagian negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik
nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik. Di negara-negara lain,
persoalan kebijakan pendidikan kurang mendapat perhatian dan bukan merupakan
topik yang hangat sebagai wacana publik.
Dalam masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah
komoditi politik yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan
memiliki aspek dan wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi
penting yang berdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik
sehari-harinya. Dalam masyarakat modern pendidikan merupakan wilayah
tanggungjawab pemerintah yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena
dikontrol oleh pemerintah dan memengaruhi kredibilitas pemerintah. Karena
besarnya nuansa politik dari kebijakan-kebijakan pendidikan, maka berbagai
faktor politis yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan turut memengaruhi
bagaimana kontrol terhadap pendidikan dan bagaimana kebijakan-kebijakan
pendidikan dibuat. Sebagai wilayah tanggungjawab pemerintah, pendidikan sering
“dipaksa” menyesuaikan diri dengan pola-pola administratif umum dan norma-norma
yang berlaku. Akibatnya, pendidikan publik dibiayai dan dikontrol oleh
pemerintah sama halnya pemerintah membiayai dan mengontrol
bidang-bidang lainnya, seperti pertanian, kesehatan, atau pelayanan sosial.
Karena kuatnya kaitan antara masalah pendidikan dan politik
serta aspek-aspek publik lainnya, setiap kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan pada umumnya merefleksikan pandangannya tentang masyarakat dan
keyakinan politiknya. Masing-masing pemerintah menempatkan prioritas pendidikan
yang berbeda-beda, dan menyukai kebijakan-kebijakan yang merefleksikan
pandangan dasar dan kepentingan-kepentingan mereka. Dari waktu ke waktu
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar
pertimbangan-pertimbangan politik. Keputusan-keputusan tentang pendidikan sering
dipengaruhi oleh faktor-faktor keuangan yang dihadapi oleh pemerintah.
Sekolah-sekolah, universitas-universitas dan lembaga pendidikan negeri
merupakan sektor publik yang paling terpengaruh oleh penerapan sistem politik.
Ini tidak berarti bahwa lembaga-lembaga pendidikan non pemerintah tidak
terpengaruh oleh keputusan-keputusan dan kontrol pemerintah. Karena pada
umumnya sekolah-sekolah non pemerintah sangat tergantung pada subsidi negara,
maka untuk mendapatkan subsidi pemerintah, sekolah-sekolah non pemerintah
tersebut seringkali diharuskan oleh pemegang otoritas pendidikan untuk memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, seperti menyesuaikan struktur
organisasi sekolah, merombak kurikulum, kriteria pengangkatan guru, prosedur
pengelolaan dana, format akreditasi, tidak memasukkan bidang studi tertentu,
tidak menggunakan buku pelajaran tertentu, menggunakan seragam tertentu, melaksanakan
upacara-upacara tertentu dan sebagainya.
Sekolah-sekolah non pemerintah yang sangat tergantung
pada izin dan subsidi pemerintah tidak punya banyak pilihan selain mengikuti
persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, walaupun dengan begitu tidak
sedikit dari sekolah-sekolah tersebut harus “kehilangan identitas” atau
terpaksa “lari” dari visi, misi, dan tujuan awal pendiriannya. Di banyak
negara, terutama di negara-negara berkembang, sangat sedikit sekolah non
pemerintah yang dapat meloloskan diri dari “jerat” politik pendidikan penguasa. Di Indonesia,
acungan jempol pantas diberikan kepada Pimpinan Pondok Modern Gontor karena
ketegaran mereka untuk tidak mau mengikuti berbagai persyaratan yang dituntut
oleh otoritas pendidikan di negeri ini. Hasil dari ketegaran tersebut sangat
jelas; sementara banyak sekolah-sekolah dan pondok pesantren non pemerintah
“kehilangan identitas” dan terjebak ke
dalam uniformitas pendidikan yang diterapkan oleh otoritas pendidikan di tanah
air. Selain itu, Pondok Modern Gontor adalah salah satu dari
sedikit institusi pendidikan di tanah air yang mendapat pengakuan
international. Banyak lulusan Pondok Modern Gontor yang diterima di Al-Azhar,
Mesir, dengan kewajiban mengikuti program matrikulasi yang sangat minim.
Jika politik dipahami sebagai “praktik kekuatan,
kekuasaan dan otoritas dalam masyarakat, serta pembuatan keputusan-keputusan otoritas tentang alokasi sumber daya dan
nilai-nilai sosial” (Harman, 1974: 9), maka jelaslah bahwa pendidikan tidak lain
adalah sebuah bisnis politik. Semua lembaga pendidikan, baik pemerintah maupun
non pemerintah, dalam
batas-batas tertentu tidak terlepas dari bisnis pembuatan keputusan-keputusan
yang disertai otoritas dan yang dapat diberlakukan. Lembaga-lembaga pendidikan
tersebut terlibat dalam praktik kekuatan, kekuasaan dan otoritas. Dengan kata
lain, politik adalah bagian dari paket kehidupan lembaga-lembaga pendidikan.
Bahkan menurut Baldridge (1971), lembaga-lembaga pendidikan dipandang sebagai
sistem-sistem politik-mikro, yang melaksanakan semua fungsi utama sistem-sistem
politik. Tentu saja aktivitas politik di sebuah sekolah dasar yang kecil dalam
banyak hal kurang penting dibandingkan dengan sistem politik
di Departemen Pendidikan. Namun, pada hakikatnya aktivitas politik pada dua
lembaga pendidikan tersebut sama saja jenisnya. Sebuah keputusan yang dibuat
dalam rapat guru-guru sekolah untuk mengimplementasikan sebuah program
pengajaran baru sama politisnya dengan sebuah keputusan yang dibuat oleh
Departemen Pendidikan dalam rangka mengalokasikan sejumlah dana bantuan untuk
sekolah-sekolah tertentu.
Hal ini menegaskan bahwa pendidikan dan politik adalah
dua hal yang berhubungan erat dan saling memengaruhi. Dengan kata lain,
berbagai aspek pendidikan senantiasa mengandung unsur-unsur politik, begitu
juga sebaliknya, setiap aktifitas politik ada kaitannya dengan aspek-aspek
kependidikan.
4. Ide Non-Political
School
Meskipun hubungan atau keterkaitan antara politik dan
pendidikan begitu kuat dan riil, tidak semua orang mengakui dan mendukung
realitas tersebut. Banyak pihak yang resah dengan realitas tersebut dan
menginginkan upaya-upaya perubahan untuk meminimalisasi atau mengikis
elemen-elemen politik dalam dunia pendidikan. Mereka menginginkan agar
pendidikan dan politik menjadi dua wilayah yang terpisah dan tidak berhubungan.
Mereka percaya bahwa pemisahan antara politik dan pendidikan dapat dilakukan
untuk membebaskan lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai kepentingan politik
penguasa. Kecenderungan tersebut memuncak pada tahun 1970-an, khususnya di
Amerika Serikat (Wirt, Dalam Harman, 1974: ii). Pada waktu itu ada keinginan
untuk menciptakan dinding pemisah antara karakteristik sebuah sistem politik
dengan kebijakan pendidikan. Kecenderungan itu berkaitan erat dengan ideologi
dan praktik-praktik politik. Di berbagai negara, ada beberapa ilmuwan
pendidikan dan politik yang mengabaikan aspek-aspek politik dari pendidikan dan
berpendapat bahwa pendidikan dan politik perlu dipisahkan. Pandangan ini
biasanya berangkat dari kekecewaan yang mendalam terhadap berbaga realitas
politik, seperti praktik-praktik korupsi yang dilakukan oleh partai-partai
politik pada akhir abad ke-19. Namun, karena minimnya kajian tentang persoalan
ini, penjelasan tentang dasar-dasar pemisahan antara pendidikan dan politik di
berbagai negara masih sulit ditemukan.
Apapun latar belakang dan tujuan kemunculannya,
kecenderungan pemisahan dan pengintegrasian pendidikan dan politik merupakan
persoalan penting yang perlu dicermati, baik oleh ilmuwan pendidikan maupun
ilmuwan politik. Pemahaman terhadap karakteristik hubungan antara pendidikan
dan politik adalah suatu prasyarat yang diperlukan untuk dapat memahami politik
pendidikan sebagai suatu bidang kajian akademik dan beberapa mitos yang
mengitarinya. Hingga tahun 1980-an, menurut catatan Harman (1974:3), dibanyak
negara masih ada keyakinan yang meluas bahwa pendidikan dan politik adalah
aktivitas yang terpisah dan tidak memiliki kaitan apa-apa. Para pemilik
keyakinan ini bersikukuh bahwa pendidikan memang seharusnya terpisah dari
politik. Keyakinan seperti ini telah mengaburkan pengertian the politics of
education atau politik pendidikan dan tujuan, fokus, serta wilayah kajian
politik pendidikan sebagai sebuah kaijan bidang akademik. Di Amerika, Harma
(1974: 3) memberi contoh, keyakinan bahwa pendidikan dan politik adalah dua hal
yang terpisah dan tidak memiliki hubungan apapun juga sangat kuat. Selama
bertahun-tahun sekolah-sekolah publik (public schools) di negara
tersebut di tempatkan dalam sebuah atmospher anti-political dan non-political.
Ide tentang non-political school di Amerika
mula-mula dikembangkan dan disebarluaskan oleh para administratur sekolah dan
para pendidik profesional yang ingin melindungi pendidikan publik dari politik
lokal dan nasional Amerika awal abad ke-19 yang berwatak korup dan kejam. Salah satu
pionir pandangan ini, Thomas H. Eliot (1959), menjelaskan logika pandangannya,
bahwa semua sistem sekolah telah “dirusak oleh berbagai aspek
politk yang masuk secara paksa, khususnya penggunaan patronase dalam
pengangkatan (staf) dan penentuan kontrak-kontrak (kerja) dengan mengabaikan
kemungkinan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak”. Menurut Bailey (1962) dan
Rosenthal (1969), berkembangnya ide pemisahan antara pendidikan dan politik di
Amerika dilatarbelakangi oleh keinginan para praktisi pendidikan untuk
mempertahankan otonomi profesional yang lebih besar bagi mereka, serta untuk melindungi kontinuitas program-program kependidikan mereka dari
kepentingan para politikus dan pengaruh proses politik, seperti pemilihan umum.
Para pendukung non-polotical school yang
kebanyakan terdiri dari para pelaksana dan praktisi pendidikan dengan sengaja
menciptakan seperangkat mitos yang menggambarkan pendidikan sebagai suatu
fungsi pemerintahan yang unik, yang harus dikeluarkan dari politik (taken
out of poiitics) dan dijaga oleh para pendidik sebagai satu-satunya yang
dapat mengamankan kepentingan publik. Roesco Martin, seorang ilmuwan politik
lain yang sejalan dengan pandangan Eliot memandang bahwa infiltrasi dalam dunia
pendidikan adalah sesuatu yang berbahaya. Menurut Martin (1962: 59-60)
“pendidikan publik ... harus dipisahkan (dari politik) dan mendapat perlakuan
khusus. Adalah berbahaya bagi sekolah publik apabila dikaitkan dengan sektor
publik lainnya, bahwa sekolah tidak ada urusan apa-apa dengan politik pada
umumnya, bahwa sekolah adalah contoh utama dan kampiun demokrasi”. Selama
bertahun-tahun doktrin yang dilakukan oleh Martin tersebut diterima secara luas
oleh publik Amerika tanpa sikap kritis.
Di Australia, keyakinan bahwa pendidikan dan politik
merupakan hal terpisah memang tidak meluas seperti di Amerika, tetapi cukup
mengganggu. Simaklah pengalaman Harman (1980b: 1) berikut ini:
A decade or so ago, when I first became involved in research in what has
now come to be called the politics of education, by far the most serious
obstancle in encouraging professional education in this country (Australia) to
systematically exprle and come to grips with the poltical aspects and
dimensions of education was a deep-seated belief that politics and education
belong entirely separate domains. Education system were regarded as being
apolitical, and it thouught not only that politics and education were unrelated
and separate function of society, but that this was the way it should be.
Perdebatan-perdebatan tentang pendidikan di kalangan politisi,
pendidik, atau figur Australia sering membuat kesimpulan yang tak
beralasan seperti ungkapan “education is outside politics” (pendidikan
berada di luar politik) atau “education should be taken out of politics
altogether” (pendidikan harus sepenuhnya keluar dari politik).
Ungkapan-ungkapan tersebut, lanjut Harman (1974: 4), muncul secara alamiah dari
mulut sejumlah orang dan kebenarannya jarang dipertanyakan. Selain menghambat
pemahaman professional tentang relasi pendidikan dan politik, kata Harman
(1974:1), pandangan bahwa politik dan pendidikan merupakan dua hal terpisah
juga menghambat penelitian tentang fungsi-fungsi dan aspek-aspek politik
pendidikan. Selain itu, tambahnya lagi, pandangan tersebut juga menimbulkan
kebingungan tentang istilah-istilah seperti politik pendidikan (politics of
education) dan politik dalam pendidikan (politics in education).
Bagi Harman (1980b: 1), pandangan tersebut adalah pendangan tradisional
sentimen komunitas yang menatapikan kenyataan behwa sejak awal pendidikan
publik di Australia telah terjerembab ke dalam kehidupan politik.
Harman (1974: 4) di
dalam M. Sirozi (2010: 24) mengidentifikasi empat faktor utama yang memungkinkan munculnya keyakinan,
pandangan dan sikap non-political di Australia. Pertama, keyakinan
tersebut mungkin bagian dari hasil konflik yang tajam antara gereja dan
sekolah pada abad ke-19. Kedua, konflik tersebut memunculkan pandangan
yang luas bahwa politik sektarian tidak boleh lagi mengganggu pendidikan, dan
bahwa sistem sekolah pemerintah dan penarikan bantuan-bantuan dari
sekolah-sekolah gereja harus terus berjalan. Ketiga, sistem pendidikan
negeri yang sangat tersentralisasi mungkin telah menimbulkan keyakinan yang
kuat di kalangan kepala
sekolah dan guru-guru. Keyakinan bahwa pendidikan berada di luar politik telah
menguat di kalangan pendidi profesional di Australia selama bertahun-tahun di bawah pengaruh
para pendidik Amerika dan tulisan-tulisan tentang pendidikan Amerika. Keempat,
salah satu pandangan populer orang Australia bahwa politik
adalah sesuatu yang cenderung kotor dan tidak begitu terhormat karena berkaitan
dengan ide tentang korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan kurang baiknya
gambaran tentang partai politik. Pandangan ini secara alami dan logis tidak
menghendaki politik mengganggu sebuah aktifitas yang berkenaan dengan pembinaan
generasi muda.
Namun demikian, menurut Harman (1974: 5) di dalam M. Sirozi (2010: 25), pandangan bahwa pendidikan dan politik merupakan dua
hal yang sama sekali terpisah, tidak mengandung kebenaran, baik di
negara-negara industri seperti di Amerika dan Australia maupun di negara-negara
berkembang. Ia percaya bahwa di belahan dunia manapun, “politik dan pendidikan
saling terkait dan saling memengaruhi” (1974:5). “Keduanya”, lanjut Harman
(1974: 5), adalah “dua aktivitas yang mendasar atau fundamental dalam semua
masyarakat manusia”. Berusaha menemukan jenis masyarakat, apakah modern,
demokratik, totaliter, sedang berkembang, atau primitif, dimana pendidikan dan
politik tidak terkait dan tidak berinteraksi, tambah Harman (1974: 5), sama sekali adalah
suatu usaha sia-sia.
Pendidikan menyangkut proses transmisi ilmu pengetahuan
dan budaya, serta perkembangan keterampilan dan pelatihan untuk tenaga kerja
dan politik berkenaan dengan praktik kekuasaan, pengaruh dan otoritas, serta berkenaan dengan pembuatan keputusan-keputusan otoritatif tentang alokasi
nilai-nilai dan sumberdaya. Karena keduanya syarat dengan proses pengalokasian
dan pendistribusian nilai-nilai dalam masyarakat, maka tidaklah sulit untuk
memahami bahwa pendidikan dan politik adalah dua aktivitas yang akan terus
terkait dan saling berinteraksi. Lembaga-lembaga atau agency yang
menyelenggarakan aktivitas-aktivitas pada dua sektor kehidupan masyarakat ini
akan saling memengaruhi, apapun karakteristik dan budaya yang dimiliki oleh
suatu masyarakat. Hal ini terjadi dalam setiap masyarakat, apapun tingkat
perkembangannya, sistem politiknya dan ideologinya.
5.
Hambatan Ke Depan
Saat ini situasi dimana-mana sungguh berbeda. Konsep lama
bahwa pendidikan tidak ada kaitan dengan politik (apolitical) sudah
dilupakan dan teriakan bahwa pendidikan berada di luar politik sudah tidak terdengar
lagi. Perubahan ini terjadi karena terutama kareana terus meningkatnya
politisasi terhadap pendidikan. Saat ini kebijakan pendidikan telah menjadi
tema perdebatan publik dan kompetisi antar partai politik. Dalam kampanye
pemilu legislatif dan pemilu presiden, misalnya, pendidikan menjadi salah satu isu
sentral dalam materi kampanye atau dalam rumusan visi dan misi para kandidat.
Berbagai isu tentang pendekatan pendidikan sering dipertarungkan di arena
publik. Di mana-mana guru-guru telah tampil sebagai kelompok militan
yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak mereka. Di Indonesia misalnya,
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) yang selama masa orde baru menjadi
“anak manis” penguasa, sekarang cukup kritis terhadap berbagai kebijakan
pendidikan di negeri ini, terutama kebijakan yang ada kaitannya dengan nasib
dan profesi guru. Di Kampar, aksi politik guru-guru berhasil memaksa mundur
Bupati, hanya karena yang bersangkutan melecehkan kedudukan guru. Dalam rangka
memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2005, guru-guru di berbagai
daerah, baik guru tetap maupun guru bantu beramai-ramai turun ke jalan menuntut
hak-hak mereka, suatu pandangan yang tidak pernah terlihat pada masa Orde Baru.
Perubahan pemahaman tentang hubungan politik dan
pendidikan juga dipicu oleh hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para
peminat kajian politik pendidikan. Hasil-hasil tersebut telah turut meyakinkan
para profesional pendidikan bahwa berbagai proses dan institusi pendidikan
bersifat politik. Saat ini kita menyaksikan pengakuan yang luas di kalangan
guru, administratur pendidikan, dan di kalangan masyarakat luas, bahwa
tekanan-tekanan dan kekuatan politik sangat berpengaruh terhadap institusi dan
kebijakan pendidikan. Harman (1980: 3) melukiskan situasi tersebut dalam
kalimat pendek: “education is
certainly not outside politics” (pendidikan sungguh tidak berada di luar
politik). Obsesi kita tentang sistem pendidikan yang steril dari politik boleh
saja mendorong kita untuk percaya atau berfikir bahwa tidak ada hubungan antara
pendidikan dan politik. Namun, realitas yang kita lihat dan kita hadapi
dimana-mana secara jelas memperlihatkan bahwa pendidikan dan politik senantiasa
berkelindan; saling memengaruhi, saling mengisi dan saling mewarnai.
Untuk dapat memahami berbagai persoalan pendidikan yang
ada di tengah masyarakat tidak hanya diperlukan dasar pengalaman dan
pengetahuan pendidikan, tetapi juga diperlukan pengetahuan tentang aspek-aspek
dan konteks politik dari persoalan-persoalan kependidikan tersebut.
b. Perkembangan Politik Pendidikan di
Kalangan Masyarakat Indonesia
Di Indonesia kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan
politik sudah mulai berkembang dalam wacana publik, walaupun belum menjadi satu
bidang kajian akademik. Publikasi yang menggunakan tema pedidikan dan politik
belum tampak ke permukaan. Kalaupun ada, fokus bahasannya belum begitu
menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan. Namun, masih
di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Namun demikian, keyakinan
akan adanya hubungan yang erat antara pendidikan dan politik tampaknya sudah
mulai tumbuh.
“Politics ‘inseparable from educatiiion’ “. Demikianlah judul berita yang dimuat pada harian The Jakarta Post edisi
16 Maret 2001, halaman 1. Paragraf pertama pada berita tersebut adalah sebagai
berikut: “Politics is inseparable from education, unless the country plans
to generate ‘ileterate politician’ who could not be expected to lead the
republic out of the current crises” (Politik tidak terpisahkan dari
pendidikan, kecuali jika negeri ini ingin memiliki generasi yang buta politik,
yang tidak bisa diharapkan untuk mengeluarkan negeri ini dari krisis). Kalimat
tersebut dikutip dari Muchtar Buchori, salah seorang pembicara dalam seminar
tentang Education and The Nation’s Crisis. Paragraf tersebut juga
mengutip penegasan Buchori, “You cannot escape politics or separate it from
education” (Anda tidak dapat lari dari politik atau memisahkannya dari
pendidikan). Empat hari kemudian, 20 Maret 2001, The Jakarta Post kembali
memuat rangkuman hasil seminar tersebut dengan judul Politics, education
inseparable.
Buchori di
dalam M. Sirozi (2010: 29) menambahkan dalam presentasinya bahwa “politics is the way to manage the
broad environment, and not merelly a struggle for power. Therefore it is the
duty of school to help students differentiate between good politics and bad
politics” (Politik adalah cara untuk mengelola lingkungan yang luas, bukan
hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah tugas sekolah untuk membantu para
pelajar untuk dapat membedakan antara politik baik dan politik tidak baik).
Berbicara dalam konteks Indonesia, Buchori percaya bahwa “poor education is
one source of the country’s crisis” (pendidikan yang tidak bermutu adalah
salahsatu sumber krisis negeri ini). Dia menjelaskan lebih jauh bahwa “the
crisis now facing the nation (Indonesia) stems from an accumulation of
inappropriate or wrong political decisions generated in the past” (krisis
yang saat ini sedang melanda bangsa ini (Indonesia) bersumber dari akumulasi
keputusan-keputusan politik yang tidak tepat yang terjadi pada masa lalu). Dia
menambahkan; “pada masa lalu kita mempunyai generasi pemimpin politik yang
membawa bangsa ini pada kemerdekaan. Akan tetapi, akhirnya kita melihat suatu
generasi yang membuat keputusan-keputusan politik yang menyesatkan.”
Ketika ditanya apakah politik harus memasuki wilayah
pendidikan atau sebaliknya, Buchori mengatakan bahwa para mahasiswa harus
belajar tentang tanggungjawab warga negara (Civic responsibility). Dia
menegaskan “Inilah yang saya maksud dengan ketidakterpisahan antara politik dan
pendidikan”. Para mahasiswa, lanjtunya, tidak boleh acuh tak acuh terhadap
segala sesuatu yang berlangsung di luar lingkungan perguruan tinggi. Buchori
menambahkan “Pemisahan antara politik dan pendidikan diberlakukan pada masa 30
tahun kekuasaan Soeharto yang otoriter”. Pada masa tersebut, tandasnya, politik
digambarkan sebagai sesuatu yang kotor dan gambaran tersebut masih berkembang
saat ini”. Ia menyimpulkan “Kita tidak pernah bisa lari dari politik. Politik adalah
realitas kehidupan. Mari berpolitik secara bijak. Persoalannya adalah bagaimana
menangani para politisi yang buta politik”. Sejalan dengan Buchori, Direktur
Eksekutif Asia Foundation, Ramage, yang menjadi salah seorang
pembicara dalam seminar tersebut mengatakan “Putting politics in the
classroom was common” (Memasukkan politik ke dalam ruang kelas adalah hal
biasa). Ia menambahkan bahwa sistem pendidikan yang memandang politik sebagai
sesuatu yang kotor membuat banyak orang tidak mau menjadi politisi. Jika hal
ini terus berlanjut, kata Ramage, Indonesia akan dipimpin oleh para pengamat
politik.
Menurut M. Sirozi (2010: 30-31) dari beberapa pemikiran yang berkembang dalam seminar
tersebut dapat ditarik beberapa pemahaman. Pertama, adanya kesadaran
tentang hubungan erat antara pendidikan dan politik. Kedua, Adanya
kesadaran akan perang penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah
kehidupan politik. Ketiga, Adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman
tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, Diperlukan
pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, Pentingnya pendidikan
kewargaan (civic education). Ungkapan-ungkapan Muchtar Buchori khususnya
menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan
politik. Ia juga yakin bahwa hubungan tersebut tidak mungkin diputus begitu
saja karena membawa pengaruh substantif terhadap keduanya. Dalam proses
pendidikan, Buchori tampaknya sangat yakin bahwa, pendidikan dan politik perlu
diintegrasikan untuk dapat melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas.
Walaupun hanya merepresentasikan opini segelintir sarjana
di negeri ini, wacana hubungan antara politik dan pendidikan dan pokok-pokok
pikiran yang berkembang dalam seminar tersebut mengindikasikan adanya
kecenderungan positif dalam melihat hubungan antara politik dan pendidikan pada
umumnya dan politik pendidikan pada khsusunya. Namun demikian, harus diakui
hingga saat ini kajian politik pendidikan masih merupakan barang langka di
negeri ini. Kajian politik pendidikan masih jarang terdengar di pusat-pusat studi
kependidikan di negeri ini, seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ),
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan pusat-pusat studi pendidikan
lainnya, seperti Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang ada di beberapa
perguruan tinggi umum dan Fakultas Tarbiyah yang ada pada Universitas Islam
Negeri Jakarta (UINJ), Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI), baik negeri maupun swasta yang tersebar di seluruh
Indonesia. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan masih cenderung di lihat
sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan apa-apa. Sejauh ini
penulis mencatat bahwa mata kuliah politik pendidikan hanya terdapat pada
kurikulum program studi pendidikan di Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dan program serupa di IAIN Raden Fatah
Palembang. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, program studi pendidikan
demokrasi sedang dipersiapkan.
Lebih lanjut M. Sirozi (2010) menyatakan tidak
dapat dikatakan bahwa kesadaran akan keterkaitan antara pendidikan dan politik tidak ada
sama sekali.
Beberapa seminar dan kongres kependidikan nasional maupun Internasional yang
pernah dihadiri oleh beliau di beberapa kota besar di Indonesia memperlihatkan perhatian yang besar dari para peserta dan pembicara
terhadap hubungan antara pendidikan dan politik. Diskusi tentang berbagai isu
fundamental tentang pendidikan seringkali mengungkapkan aspek-aspek dan
hambatan-hambatan yang bersifat politik dalam perkembangan sistem pendidikan di
negeri ini. Misalnya, kecilnya alokasi dana untuk pendidikan dan rendahnya mutu
pendidikan di negeri ini seringkali diyakini sebagai impliksi dari rendahnya
komitmen politik (political will) pemerintah.
Pada Konferensi Nasional Manajemen Pendidikan yang
diselenggarakan atas kerjasama Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan Himpunan
Sarjana Administrasi Pendidikan Indonesia (HISAPIN) di Jakarta tanggal 8 sampai
10 Agustus 2002 muncul beberapa topik yang secara substantif cukup relevan
dengan kajian politik pendidikan. Topik-topik tersebut antara lain, Akuntabilitas
LPTK sebagai Penghasil Guru di Indonesia oleh Professor Dr. Sutjipto; Kebijakan
Pemerintah Tentang Partisipasi Masyarakat Dalam Manajemen Pendidikan di Era
Otonomi Daerah oleh Dr. Dr. Fazli Djalal; Tanggungjawab LSM Dalam
Meningkatkan Mutu Manajemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Ir. Eri
Sudewo; Pengawasan Pendidikan di Era Otonomi Daerah oleh Professor. Dr.
Mulyani A. Nurhadi, M.Ed.; Masalah dan Kebijakan Pendidikan Islam di Era
Otonomi Daerah oleh Professor. Dr. Azyumardi Azra, M.A.; Strategi
Pemerintah Daerah Dalam Memacu Kualitas Sekolah Melalui Manajemen Pendidikan
(Satu Contoh Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Kebumen) Oleh Dra.
Rustriningsih, M.Si.; Dampak Otonomi Daerah Terhadap Manajemen Pendidikan di
Provinsi Sulawesi Tengah oleh Professor Dr. Djamaluddin Kantao, M.Pd.; Partisipasi
Masyarakat, Potret Tahun Kedua di Era Otonomi Pendidikan oleh Dr. Basuki
Wibawa; Kesiapan Masyarakat dalam Mendukung Implementasi School Based Management
oleh Professor Santoso S. Hamidjoyo; dan Implikasi Managemen Pendidikan
Nasional Dalam Konteks Otonomi Daerah oleh Professor. Dr. Winarno
Surakhmad, M.Ed.
Beberapa buku yang membahas aspek-aspek politik
pendidikan juga mulai bermunculan dari para penulis dalam negeri. Misalnya, ada
buku Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional: Beberapa Kritik
dan Sugesti yang ditulis oleh Kartini Kartono (1997) yang diterbitkan oleh
PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Selain itu, telah bermunculan buku-buku tentang
pendidikan kewargaan yang secara langsung maupun tidak langsung juga membahas
isu-isu di seputar politik pendidikan. Salahsatu yang terbaru adalah buku Civic
Education (Pendidikan Kewarganegaraan): Demokrasi Hak Asasi Manusia Masyarakat
Madani yang ditulis oleh Dede Rosyada (2000) dan diterbitkan oleh UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Beberapa informasi di atas kiranya sudah cukup untuk membuktikan
bahwa pemahaman tentang hubungan antara politik dan pendidikan sudah cukup
berkembang. Tentu saja masih diperlukan upaya-upaya strategis dan sistematis
agar pemahaman tersebut dapat terus berkembang dan menumbuhkan curiosity
tentang hubungan politik dan pendidikan, baik di kalangan ilmuwan pendidikan mupun di kalangan
ilmuwan politik. Pada saatnya nanti kajian politik pendidikan diharapkan terus
diminati dan berkembang di pusat-pusat studi kependidikan di negeri ini
sehingga wacana kependidikan di tanah air tidak hanya terbatas pada isu-isu
metode dan materi pembelajaran tetapi juga menyentuh konteks sosio-politis dari
isu-isu tersebut.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan
pemberlakuan otonomi daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah
mengalami beberapa perubahan penting. Perubahan tersebut ditandai oleh paling
tidak tiga kecenderungan utama. Pertama, terjadinya perubahan peranan
pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan pendidikan yang sebelumnya
didominasi oleh pemerintah pusat, saat ini sudah mulai didistribusikan ke
daerah. Kedua, semakin terfragmentasinya pendidikan, baik secara politik
maupun dalam bentuk program. Ketiga, muncul kembalinya
kepentingan-kepentingan nonpendidikan, terutama dari dunia bisnis, dalam
wilayah pendidikan. Berbeda dengan tahun 1970-an ketika politik pendidikan
adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan kependidikan berbasis luas (broad-based
education interest groups), seperti Departemen Pendidikan, Kepala Sekolah,
Administrator dan Guru, mulai tahun 1980-an dunia pendidikan didominasi oleh
tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik yang terpilih.
Dalam tiga kecenderungan tersebut, yang cukup unik dalam
politik pendidikan di Indonesia hingga saat ini bahwa kurang berartinya peranan
kelompok kepentingan pendidikan (Education Interest Groups) dalam
formula kebijakan-kebijakan pendidikan. Jika dibandingkan dengan bidang-bidang
lainnya, perkembangan interest group dalam dunia pendidikan sangat
lamban. Saat ini berbagai perkembangan dan gejala tersebut perlu dikaji dalam
rangka memahami kompleksitas dan dinamika hubungan antara pendidikan dan
politik, baik dalam konteks global maupun dalam konteks lokal, khususnya dalam
konteks pemberlakuan otonomi daerah.
Hingga di sini dapat dikatakan, meskipun ada
kecenderungan yang kuat pada sebagian masyarakat untuk memandang bahwa
pendidikan dan politik terpisah dan tidak berkaitan, realitas membuktikan bahwa
di semua masyarakat keduanya berhubungan erat dan terkait. Proses dan lembaga-lembaga
pendidikan memiliki banyak dimensi dan aspek politik. Lembaga-lembaga tersebut
menjalankan fungsi-fungsi yang memiliki konsekuensi penting dalam sistem
politik dan terhadap perilaku politik dalam bentuk yang berbeda-beda.
E. KESIMPULAN
Dari hasil penyusunan makalah tentang “Hubungan Politik dan
pendidikan”sebagaimana telah penulis uraikan di atas , maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a.
Hubungan Politik dan Pendidikan Dalam Sistem Sosial Politik
Di banyak negara berkembang, dimana pengaruh
modernisasi sangat kuat, pola hubungan pendidikan dan politik umumnya sama
dengan hubungan pendidikan dan politik di negara-negara Barat. Ada satu
perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju, pendidikan formal
memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam mencapai perubahan politik
dalam proses rekrutmen dan pelatihan pemimpin dan elite politik baru. Di
sebagian negara maju, pendidikan berada dalam arus utama kehidupan politik
nasional dan menjadi isu penting dalam wacana politik. Hal demikian terjadi karena pendidikan merupakan wilayah tanggungjawab pemerintah
yang besar. Pendidikan publik bersifat politis karena dikontrol oleh pemerintah
dan memengaruhi kredibilitas pemerintah. Dengan makna lain melalui pendidikan suatu kredibilitas maupun
kejayaan dibangun atau bahkan sebaliknya, melalui pendidikan sistem
pemerintahan dapat direstrukturisasi ulang. Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi
pada semua dataran, baik pada dataran filosofis maupun pada dataran kebijakan.
Misalnya filsafat pendidikan di suatu negara seringkali merupakan refleksi
prinsip ideologis yang diadopsi oleh negara tersebut. Di Indonesia, misalnya,
Filsafat Pendidikan Nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang
terdapat pada pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pada dataran kebijakan,
sangat sulit memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh
pemerintah di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada
pada pemerintah tersebut.
b.
Perkembangan
politik pendidikan di kalangan
masyarakat Indonesia
Di
kalangan masyarakat Indonesia sendiri, wacana hubungan antara politik dan pendidikan maupun pokok-pokok pikiran
tentang politik dan pendidikan mulai berkembang, baik melalui seminar maupun
karya-karya tulis. Namun demikian, harus diakui hingga saat ini kajian politik pendidikan
masih merupakan barang langka di negeri ini. Bahkan, kajian politik pendidikan masih jarang terdengar di pusat-pusat studi
kependidikan. Disiplin ilmu politik dan ilmu pendidikan
masih cenderung di lihat sebagai dua bidang kajian yang tidak memiliki hubungan
apa-apa.
Dalam dua dekade terakhir, memasuki abad ke-21 dan pemberlakuan otonomi
daerah, lingkungan politik pendidikan di Indonesia telah mengalami beberapa
perubahan penting. Pertama, terjadinya perubahan peranan pemerintah pusat dan daerah
dalam kebijakan pendidikan yang sebelumnya didominasi oleh pemerintah pusat,
saat ini sudah mulai didistribusikan ke daerah. Kedua, semakin terfragmentasinya
pendidikan, baik secara politik maupun dalam bentuk program. Ketiga,
muncul kembalinya kepentingan-kepentingan nonpendidikan, terutama dari
dunia bisnis, dalam wilayah pendidikan. Berbeda dengan tahun 1970-an ketika
politik pendidikan adalah wilayah kepentingan kelompok kepentingan kependidikan
berbasis luas (broad-based education interest groups), seperti
Departemen Pendidikan, Kepala Sekolah, Administrator dan Guru, mulai tahun
1980-an dunia pendidikan didominasi oleh tokoh-tokoh bisnis dan pegawai publik
yang terpilih.
Dalam tiga kecenderungan tersebut, yang cukup unik dalam politik pendidikan
di Indonesia hingga saat ini bahwa kurang berartinya peranan kelompok
kepentingan pendidikan (Education Interest Groups) dalam formula
kebijakan-kebijakan pendidikan. Jika dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya,
perkembangan interest group dalam dunia pendidikan sangat lamban. Saat
ini berbagai perkembangan dan gejala tersebut perlu dikaji dalam rangka
memahami kompleksitas dan dinamika hubungan antara pendidikan dan politik, baik
dalam konteks global maupun dalam konteks lokal, khususnya dalam konteks
pemberlakuan otonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Amnur Ali
Muhdi. 2007. Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Pustaka Fahima.
Yogyakarta.
Sirozi
Muhammad. 2010. Politik Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tilaar, H.A.R.
& Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Balai Pustaka. Jakarta.
[5] Lihat kata pengantar Ki Supriyoko dalam buku
“Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional”, Hlm. xii.
[6] Madrasah Nizhamiyah didirikan oleh penguasa
Bani Saljuk, Nizham Al-Mulk, seorang perdana menteri dari Alp Arselan dan Malik
Syah Pada tahun 457 H, setengah abad setelah berdirinya Universitas Al-Azhar di
Cairo. Bani Saljuk terkenal sangat fanatik terhadap madzhab sunni. Madrasah
Nizhamiyah didirikan di setiap kota di Irak dan Khurasan, untuk mengikis paham
syi’ah Zaidiyah yang dikembangkan oleh
dinasti Buwaih sebelumnya dan dalam rangka menghadang paham islamiyah yang
dipropagandakan oelh dinasti Fatimiyah di Mesir. Selain itu, Tujuan pendirian
madrasah oleh Nizham Al-Mulk adalah untuk mencetak birokrat-birokrat yang akan
menduduki jabatan kenegaraan, atau paling tidak, melalui lembaga tersebut akan
lahir warga negara yang mengerti akan nilai-nilai yang dianut oleh pemerintah.
Singkat kata, madrasah Nizhamiyah merupakan instrumen kebijakan politik yang
salah satu fungsi utamanya adalah untuk menanamkan dktrin kenegaraan yang
memperkuat kerajaan. Patronase Nizam Al-Mulk tidak hanya menyangkut masalah
keuangan dan pengadaan sarana, tetapi juga kurikulum dan jabatan
“profesorship”, guru besar (Rasyid, 1994: 7-8).
[7] Pada periode Mekkah, rumah Arqam Ibn Abi Arqam berfungsi sebagai lembaga
pendidikan pertama dalam bentuk yang sederhana, dimana nabi mengajar
sahabat-sahabatnya. Pada periode Madinah, aktivitas pendidikan berpusat
dimasjid-masjid. Pada periode tersebut Khalifah Umar Ibn Khattab memerintahkan
Abu Musa Al-Asy’ari agar setiap suku mendirikan masjid untuk memperluas
jaringan pendidikan Islam. Khalifah-khalifah Bani Umayyah, baik yang di
Damaskus maupun di Spanyol berperan penting dalam membangun cakrawala
pendidikan Islam (Sjalabi, 1973: 94).
[8] Bila ditinjau dari sisi aqidah,
inquisisi adalah usaha pemurnian pandangan masyarakat. Bagi golongan Mu’tazilah
menganggap bahwa Al-Qur’an itu Qadim adalah kafir karena dengan demikian itu
seseorang telah menjadikan yang Qadim ada dua. Kekufuran harus dihapus dari
pandangan orang Islam. Pejabat negara dan para ulama yang mengatakan bahwa
Al-Qur’an Qadim harus disingkirkan, karena mereka adalah termasuk orang kafir
(Rasyid, 1994: 18).
[9] Pada periode Mekkah pusat-pusat
pendidikan difokuskan di masjid-masjid. Masjid yang pertamakali didirikan
adalah masjid Quba. Di masjid ini diadakan lingkaran-lingkaran belajar (Halaqah)
sebagaimana di masjid Nabi di Mirbad Madinah. Untuk menunjang proses pendidikan
dan pengajaran di masjid ini, lalu dibangunlah al-Suffah (semacam
beranda). Di Al-Suffah ini Rasulullah memberikan pelajaran kepada
sahabat dan melatih beberapa orang diantara mereka untuk menjadi guru yang
mempu mengajar beberapa pelajaran yang berlainan. Diantara para sahabat yang
dilatih di Al-Suffah tersebut ialah Abu Abdullah Ibnu Rowahah, Ubadah
Ibnu Shamit, dan Abu Ubaidah Ibnu Jarrah” (Rasyid, 1994: 25).
[10] Kuttab, menurut Al-Thibawi, merupakan fenomena yang
berkembang pada awal abad ke-8 M di penghujung pemerintahan Bani Umayah. Kuttab
ini berfungsi sebagai pusat pendidikan anak-anak kecil, didirikan untuk
menghindari mereka dari mengotori masjid (Dalam Rasyid, 1994: 26).
[11] Menurut Plato, “Para filsuf memiliki otoritas tertinggi, para pengawas
berpendidikan menengah bertindak sebagai kekuatan militer dan polisi, dan
mereka yang memasok kebutuhan ekonomi negara menempatkan status terendah
diantara semuanya. Pendidikan harus disesuaikan secara cermat dengan reproduksi
sistem; kelas yang lebih rendah dididik untuk patuh dan diyakinkan dengan
mitos-mitos politik bahwa status mereka itu terbentuk oleh sebab-sebab alamiah;
para penyair seharusnya hanya menggambarkan tingkahlaku terpuji, pengetahuan
tentang bentuk-bentuk masyarakat alternatif ditekan dengan hati-hati, kecuali
dalam kalangan sangat terbatas dari elit penguasa” (Kuper & Kuper, 2000:
767).
[12] Diskusi lebih lanjut mengenai
kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda serta dampaknya terhadap
perkembangan sistem pendidikan Nasional di Indonesia, lihat Muhammad Sirozi
1998. Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia: Peran Tokoh-tokoh Islam
Dalam Penyusunan UU No.2, Khususnya Bab 2. Jakarta, INIS.
terimakasih atas informasinya..
BalasHapusMGM - Home | Dr.MCD
BalasHapusMGM. MGM. MGM. MGM International Hotel & Casino 의왕 출장안마 Hotel in 서산 출장샵 Las 남양주 출장샵 Vegas, NV MGM MGM National Harbor is 공주 출장샵 an 시흥 출장마사지 MGM Resorts property and is a property of MGM Resorts International.