FUNGSI
POLITIK INSTITUSI PENDIDIKAN[1]
Oleh : Mualimin dan Heri Kiswanto
A. Latar Belakang
Hubungan
antara pendidikan dan politik bukan sekedar hubungan saling mempengaruhi,
tetapi juga hubungan fungsional. Lembaga-lembaga dan proses pendidikan
menjalankan sejumlah fungsi politik yang signifikan. Mungkin yang terpenting
dari fungsi-fungsi tersebut bahwa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan
lainnya menjadi tempat dimana individu-individu, terutama anak-anak dan
generasi muda, mempelajari sikap-sikap
dan perasaan tentang sistem politik, dan sejenis peran politik yang diharapkan
dari mereka.
Dari
berbagai institusi pendidikan yang ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai
alat kekuasaan dalam upaya membentuk sikap dan keyakinan politik yang
dikehendaki. Hal itu dilakukan melalui berbagai aspek pembelajaran, terutama
kurikulum dan bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik
tertentu. Dibanyak negara totaliter dan negara berkembang, pemimpin politik
sangat menyadari fungsi pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan
politik. Mereka melakukan berbagai macam cara untuk mengontrol sistem pendidikan
dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajaran pendidikan.
Setelah
satu jalan yang menghubungkan sekolah dan politik adalah melalui sosialisasi
politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya,
kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasi-organisasi yang ada
disekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya,
bisa saja secara eksplisit maupun inplisit terkait dengan transmisi orentasi
politik dasar terhadap lingkungan.
B. Rumusan
Masalah
1. Fungsi-fungsi Politik bagi institusi
pendidikan
2. Implikasi
Politik terhadap dinamika kehidupan dan pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan beberapa fungsi
politik pendidikan beserta segala implikasinya, baik terhadap dinamika
kehidupan politik dan pendidikan itu sendiri maupun implikasinya terhadap
tatanan kehidupan masyarakat pada umumnya.
1. Institusi
Pendidikan Sebagai Alat Kekuasaan?
Paling tidak
ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi berkembangnya pemikiran politik
pendidikan. Pernyataan pertama dikemukakan oleh David Easton dalam artikel
terkenalnya The Function of Formal Education in a Political System pada
tahun 1957 dan Thomas H. Eliot dengan artikelnya American Political
Science Review ada tahun 1959. Easton mengatakan bahwa institusi
pendidikan memainkan fungsi politik penting dan membuktikan secara singkat
sebagai agen sosial politik[2]. Eliot mendemonstrasikan aspek-aspek politik di tingkat
lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak suka, para pengelola sekolah
terlibat dalam politik, karena sekolah-sekolah lokal adalah unit-unit
pemerintahan. Eliot menegaskan bahwa politik mencakup pembuatan
keputusan-keputusan pemerintah, dan upaya atau perjuangan untuk mendapatkan
atau mempertahankan kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan tersebut[3]. Sekolah-sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari
itu lembaga ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat
menyelami nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian ini
menungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok kependidikan dalam
upaya mereka untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan
perkembangan mereka dan untuk memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk
mereka. Dalam kaitan ini, maka studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara
yang ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat untuk memperkuat
posisinya dan menutup peran-peran aktivitas subversif terhadapnya. Contohnya,
bagaimana rezim otoriter memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol
pendidikan dan bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat sentimen
kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan negara. Perntanyaannya adalah
bagaimana hal itu dilakukan? Tentu dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki
ketergantungan terhadap rezim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan
Perguruan Tinggi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah,
terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan sebagainya. Sekolah
dan Perguruan Tinggi tentu tidak bisa berjalan sendiri, tanpa input dari
pemerintah, dan dalam konteks itulah maka pemerintah yang dipimpin oleh rezim
berkuasa memiliki ikatan bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan
begitu, pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap
persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara berbagai
institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi stabilitas dan
transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan
mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembangan kurikulum
maupun pengembangan organisasi, dalam rangka menanamkan konsep-konsep filosofis
tentang masyarakat politik yang baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan
dengan fungsi ini, maka Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang
harus dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara yang baik?
Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam beberapa karya Reisner
(1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan Cobban (1938). Dari mereka para
pendidik mendapatkan pernyataan bahwa sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan
mempersiapkan generasi muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para insan
pendidikan telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan
program-program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan kesetiaan kepada
gagasan pemerintahan demokrasi.
Dari berbagai institusi pendidikan yang
ada dalam masyarakat dapat berfungsi sebagai alat kekuasaan dalam upaya
membentuk sikap dan keyakinan politik yang dikehendaki. Berbagai aspek
pembelajaran, terutama kurikulum dan
bahan-bahan bacaan, seringkali diarahkan pada kepentingan politik tertentu.
Eliot (1959 : 1046) menulis sebagai berikut.
Although
Political power is centered in groups and individuals, its effectiveness and
use are shaped by institutions. The institutional patter of public education may
seem firmly fixed, firmly enough, certainly, so that any proposal, to have a
chance of succes, must appear to conform to it
(Walaupun kekuasaan politik terpusat
pada berbagai kelompok dan individu, efektivitas dan kegunaannya dibentuk oleh
berbagai institusi. Pola institusional pendidikan publik mungkin saja tampak
kokoh, cukup mantap, sehingga untuk dapat berhasil, setiap proposal perlu
menyesuaikan diri dengannya).
Eliot (1959:1047) menambahkan bahwa
salah satu komponen terpenting pendidikan, kurikulum, misalnya, dapat menjadi
media sosialisasi politik. Menurutnya, kurikulum di suatu lembaga pendidikan
memiliki tiga sumber utama. Pertama,
pendapat kelompok profesional pendidikan yang sangat dipengaruhi oleh
institusi-institusi pelatihan guru dan seringkali merefleksikan atau
mengadaptasi ide-ide dari individu-individu yang didewa-dewakan, seperti John
Dewey, John Lock, Dan Wiliam Stern. Kedua,
Kebutuhan akan dana. Kebutuhan ini sering menyebabkan terjadinya modifikasi
program untuk mengantisipasi tuntutan publik. Ketiga, Aktivitas kelompok-kelompok berpengaruh, seperti asosiasi
industri, perserikatan, dan beberapa organisasi kebangsaan yang memiliki
semangat patriotik.
Berbagai kelompok tersebut sering
mempengaruhi isi kurikulum yang sulit dicegah. Fungsi politik pendidikan secara
khusus juga dapat diaktualisasikan melalui proses pembelajaran. Menurut
Massialas (1969a:18-79 dan 1969b:155), proses pembelajaran bisa kognitif
(misalnya , mendapatkan pengetahuan dasar tentang suatu sistem), bisa bersifat
afektif (misalnya, mengetahui sikap-sikap positif dan negatif terhadap penguasa
atau simbol-simbol), bisa bersifat evaluatif (misalnya, menilai peran-peran
politik berdasarkan standar tertentu), atau bisa bersifat motivatif (misalnya,
penanaman rasa ingin berpartisipasi). Sebagian besar unsur-unsur pembelajaran
tersebut dapat dirancang dan diarahkan sedemikian rupa untuk memenuhi tuntutan
politik tertentu.
Dale dan Apple, (1989) secara umum melihat
fungsi politik pendidikan dari sudut pandang relasi negara dan pendidikan.
Keduanya menemukan bahwa sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana
kita dapat menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni
tertentu terbangun dan mengalami kehancuran[4].
Perubahan kurikulum disetiap periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan
nasional adalah salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan
hancur.
Berbagai persoalan yang muncul
belakangan dalam dunia pendidikan seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, debat
publik tentang isu-isu pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam
APBN dan APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan
pemahaman superficialtentang konteks politik dimana sekolah
diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang proses-proses yang
menghasilkan berbagai keputusan mendasar tentang pendidikan disemua jenjang
administratif. Disinilah fungsi politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.
Di banyak negara totaliter dan negara
berkembang, pemimpin politik sangat menyadari fungsi pendidikan dalam mencapai
tujuan-tujuan politik. Mereka melakukan berbagai cara untuk mengontrol sistem
pendidikan dan menitipkan pesan-pesan politik melalui metode dan bahan ajar (curriculum content) pendidikan. Di
negara-negara Komunis, misalnya, metode brain
washing digunakan secara luas untuk membentuk pola pikir kaum muda, agar
sejalan dengan doktrin komunisme.
Dari generasi ke generasi negarawan dan
pemimpin politik telah menyadari dampak yang dapat ditimbulkan oleh sistem
pendidikan terhadap kehidupan politik. Mereka menyadari bahwa negara tidak
dapat mengabaikan sekolah jika ingin mencapai tujuan-tujuannya, termasuk tujuan
untuk mempertahankan kekuasaan. Mengingat besarnya peluang untuk mengarahkan
berbagai unsur kependidikan pada kebutuhan politik tertentu, tidak heran
apabila pendidikan seringkali memainkan peran sentral dalam menentukan arah
perubahan politik. Stabilisasi atau transformasi politik banyak ditentukan oleh
faktor pendidikan. Manakala terjadi transformasi radikal dalam sistem politik,
misalnya setelah revolusi Prancis dan Rusia, salah satu langkah utama yang
dilakukan oleh para penguasa di sana adalah menata sistem pendidikan. Penguasa
yang baru dengan cepat berusaha mereformasi dan menerapkan sistem pendidikan
yang sesuai dengan tujuan-tujuannya. Para penguasa yang baru naik tahta saat
itu menyadari sepenuhnya bahwa
keberhasilan dan kontinuitas rezim mereka berkaitan dengan ide-ide dan
pola-pola perilaku yang ditransmisi melalui fasilitas kependidikan. Kesadaran
ini mungkin saja salah, tetapi ini adalah suatu persoalan hubungan antara
pendidikan dan politik yang memerlukan penjelasan melalui penelitian terencana.
Penjelasan atas persoalan tersebut akan dapat mengungkapkan kontribusi
pendidikan terhadap integrasi dan ketahanan sistem politik.
Di Indonesia, misalnya, daya tahan rezim
Soeharto selama 32 tahun banyak melibatkan kebijakan-kebijakan kontroversial
dalam bidang pendidikan, baik menyangkut pengelolaan maupun kurikulum dan
kegiatan pembelajaran. Misalnya, kebijakan tentang Kurikulum Pendidikan Agama,
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), dan kebijakan tentang seragam sekolah,
khususnya tentang hak mengenakan jilbab bagi siswi di sekolah umum.
Kebijakan-kebijakan tersebut banyak dipengaruhi oleh tekad bulat para penguasa
rezim untuk menjadikan Indonesia sebagai negara sekular berdasarkan Pancasila.
Bahan ajar untuk bidang studi sejarah, agama dan kenegaraan didesain sedemikian
rupa, sesuai dengan visi dan misi politik penguasa rezim. Di Malaysia, konflik
pribadi antara Mahathir Muhammad dan Anwar Ibrahim berimplikasi pada kebijakan pemerintah terhadap
Universitas Islam Antar Bangsa atau International Islamic University Malaysia
(IIUM) di mana Anwar Ibrahim adalah salah seorang pendirinya. Sejak konflik
tersebut merebak, berbagai kegiatan di lingkungan universitas tersebut mendapat
pengawasan ketat dari pemerintah Mahathir. Untuk mencegah berkembangnya sikap
anti pemerintah di perguruan tinggi tersebut, pemerintah Mahathir telah
melakukan pengawasan ketat terhadap kegiatan akademik di kampus IIUM. Sebagai
implikasi dari kebijakan pemerintah Mahathir terhadap para pelaku terorisme dan
kelompok-kelompok Islam garis keras di negeri itu, telah dilakukan pengurangan
subsidi terhadap sekolah-sekolah agama yang ada di sana.
Di Indonesia, hal serupa terjadi dalam
kasus pelarangan oleh pemerintah Orde Baru terhadap rencana keluarga Bung Karno
untuk mendirikan Universitas Bung Karno di Jakarta. Pertentangan politik antara
rezim Orde Baru dengan keluarga Bung Karno ternyata terbawa ke dalam wilayah
kebijakan pendidikan.
Era reformasi yang ditandai dengan
kejatuhan rezim Soeharto pada 1998 telah membawa perubahan mendasar pada
beberapa aspek pengelolaan sistem pendidikan nasional. Salah satu aspek
perubahan yang cukup mendasar adalah bergesernya paradigma pengelolaan sistem
pendidikan nasional dari paradigma sentralisasi ke desentralisasi. Jika selama
masa Orde Baru otoritas pendidikan di kabupaten dan kota hanya merupakan
perpanjangan tangan dari otoritas pendidikan pusat dan provinsi, maka pada era
reformasi sekarang ini otoritas pendidikan kabupaten dan kota dituntut lebih
aktif dan kreatif dalam menata sistem pendidikan masing-masing. Inilah semangat
otonomisasi yang tergambar dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah.[5]
Untuk menunjang proses otonomisasi, sekolah-sekolah yang sebelumnya hanya
merupakan unit pelaksana yang hanya menerima berbagai kebijakan kependidikan
yang ditetapkan oleh otoritas pendidikan di pusat dan daerah, saat ini
diharapkan lebih memiliki kemampuan self-sufficient
dan Self fulfilment. Inilah salah
satu alasan mengapa sejak 1998 pihak Departement Pendidikan Nasional telah
menjalankan pilot project penerapan School Based Management (SBM) di
sejumlah sekolah di seluruh Indonesia. Untuk memperkuat daya dukung sektor
pendidikan terhadap gerakan reformasi dan mendongkrak daya saing sumber daya
manusia nasional, otoritas pendidikan di Indonesia, dalam hal ini Departement
Pendidikan Nasional, telah berketetapan untuk meninggalkan content based curriculum dan memberlakukan competency based curriculum. Untuk memacu partisipasi para stakeholder pendidikan, pihak Departemen
Pendidikan Nasional juga telah mengembangkan konsep community based educaton. Saat ini di sekolah-sekolah telah
dibentuk Komite Sekolah dan Komite Madrasah yang keanggotaannya merupakan
perwakilan dari para stakeholder.
Untuk mem-back up pemerintah
provinsi, kabupaten, dan kota dalam mendesain dan mengembangkan program-program
pendidikan, maka di beberapa provinsi sudah dibentuk Dewan Pertimbangan
Pendidikan Daerah yang keanggotaannya terdiri dari para pakar pendidikan yang
ada di daerah.
Di tingkat perguruan tinggi, pemerintah
juga telah memberlakukan kebijakan serupa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 1999 dengan nama lima perguruan tinggi utama (Universitas Indonesia,
Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada, Universitas Diponegoro, dan
Universitas Pajajaran) telah dijadikan sebagai pilot project perguruan tinggi berbadan hukum, bahwa lima perguruan
tinggi tersebut berubah status dari Perguruan Tinggi Negara (PTN) menjadi Badan
Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan perubahan status tersebut, maka para
pengelola institusi pendidikan tinggi tersebut diberi kebebasan untuk mencari,
memanfaatkan, dan mengembangkan dana serta program perkuliahan. Pengelolaan
dana pada BHMN diharapkan tidak lagi bersifat project oriented, tetapi profit
oriented. Para pimpinan BHMN diberi kebebasan sepenuhnya untuk
mengembangkan sumber-sumber dana, selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai
akademik.
2.
Sosialisasi Politik atau Politisasi
Sistem pendidikan turut serta
mengembangkan dan mentransmisi berbagai orientasi politik mendasar yang harus
dimiliki bersama oleh sebagian besar anggota dari sistem yang sedang berjalan
dengan berbagai variasi. Kita dapat memahami fungsi pendidikan dalam konteks
ini dengan baik jika kita mencari momentum dalam proses sosial lebih luas yang
berlangsung dalam setiap sistem. Salah satu prasyarat fundamental bagi
bertahannya sebuah sistem politik, menurut Easton (1957:311), adalah apabila
orang-orang yang terlibat dalam sistem politik tersebut berhasil mentransfer
ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang mereka kehendaki. Bagian
paling relevan dari proses conditioning
ini, menurut Easton (1957:311), adalah sosialisasi politik (political socialization) atau politisasi (politicization). Menurutnya , daya tahan suatu sistem dalam banyak
hal akan tergantung pada sejauh mana keberhasilan proses politisasi.
Salah satu jalan yang menghubungkan
sekolah dan politik, kata Massialas (1969:155) adalah melalui sosialisasi
politik anak-anak dan para pemuda. Sekolah dengan berbagai perangkatnya;
kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasi-organisasi yang ada di
sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, struktur administrasi dan lain-lainnya,
bisa saja secara eksplisit maupun implisit terkait dengan transmisi orientasi
politik dasar terhadap lingkungan. Orientasi politik dasar, menurutnya,
terbentuk pada usia sangat dini, khususnya antara usia hingga 13 tahun.
Orientasi politik yang terbentuk pada usia tersebut akan terus berlanjut
sepanjang hidup kecuali jika ada lingkungan sangat kuat yang mempengaruhi
individu. Orientasi politik dasar, tandas Massialas (1969: 155), bisa bersifat
(a) cognitive (misalnya, kemampuan
menganalisis dan menginterpretasi data tentang perilaku atau institusi
politik); (b) afektif (misalnya,
pengembangan sikap positif atau negatif terhadap simbol-simbol otoritas; atau
(c) evaluatif (misalnya, penilaian
berdasarkan aplikasi standar tertentu terhadap performa peran politik). Pada
gilirannya, orientasi politik yang berkembang pada diri anak dan para pemuda
banyak menentukan kultur politik yang dominan. Dalam suatu budaya di mana
secara relatif ada derajat keterlibatan warga yang tinggi (civic cultures) pada
umumnya terdapat orang-orang yang memandang diri mereka memiliki kemampuan
untuk bermain politik (politically
efficacious). Mereka merasa mampu mempengaruhi keputusan politik melalui
usaha mereka sendiri. Perasaan seperti ini biasanya dapat termanifestasi dalam
sistem politik yang terbuka dan demokratis. Dalam kultur politik paroki,
biasanya rakyat kurang memiliki keyakinan bahwa
mereka dapat mengubah situasi politik. Mereka kurang berusaha mengubah
pemerintah dengan usaha mereka sendiri. Pada bangsa-bangsa seperti ini , warga
negara tidak mengharap apapun dari sistem politik. Mereka cenderung nrimo, apatis, dan pasif.
Sosialisasi politik diperlukan, baik
untuk mempertahankan maupun untuk menggerogoti kekuasaan. Untuk mempertahankan
suatu sistem politik, harus ada dukungan yang cukup dari warga negara. Dukungan
atau kritik terhadap suatu sistem diberikan oleh agen agen sosialisasi, seperti
keluarga, gereja atau masjid, kelompok sebaya (peer group), dan sekolah. Sekolah misalnya, dapat mensosialisasikan
anak didik untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap
loyal terhadap pemerintah. Sebaliknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap
kritis terhadap suatu rezim. Dengan menekankan hak dan privilese mereka sebagai warga negara, ketimbang tugas-tugas dan
kewajiban mereka, sekolah dapat menstimulasi para pemuda untuk mengorganisasi
dan mengartikulasikan keinginan tertentu terhadap pemerintah dalam bentuk
tuntutan. Kadang kala, sebagaimana sering terlihat, tuntutan tersebut ditujukan
pada administasi sekolah yang merepresentasikan simbol otoritas politik
masyarakat yang lebih luas. Pihak Departemen Pendidikan Nasional, misalnya,
sering menjadi sasaran protes manakala muncul ketidakpuasan terhadap kinerja
sekolah atau mutu lulusan.
Banyak juga tuntutan yang ditujukan
langsung kepada para pemimpin politik. Para mahasiswa berekspresi melalui
aksi-aksi mereka, baik secara spontan maupun terorganisasi, untuk menyatakan
keprihatinan dan kepentingan mereka pada pemerintah. Tidak jarang keprihatinan
tersebut berujung pada tuntutan pergantian kekuasaan. Dapat dicatat bahwa di
banyak negara, misalnya di Turki pada masa kekuasaan Adnan Manderes dan di
Korea Selatan pada masa kekuasaan Syngman Rhee, di Filipina pada masa Ferdinan
Marcos dan di indonesia pada masa kekuasaan Soeharto, pemerintah tumbang oleh
aksi-aksi yang diawali oleh mahasiswa.
Selain pada tingkat nasional,
sosialisasi politik juga dapat berlangsung pada tingkat internasional. Pada
tingkat ini, sosialisasi politik memiliki dua pengertian. Pertama, istilah ini merujuk pada proses transmisi pengetahuan
tentang dan sikap terhadap komunitas internasional. Misalnya, anak-anak Indonesia
belajar tentang sistem politik lain di berbagai negara di dunia dan
mengembangkan sikap-sikap tertentu terhadap berbagai sistem politik tersebut. Kedua, istilah sosialisasi politik
internasional merujuk pada proses transmisi orientasi politik di berbagai
negara. Misalnya, apakah perilaku politik anak-anak jerman banyak dipengaruhi
oleh institusi pendidikan sebagaimana anak-anak inggris? Apakah anak-anak
italia bersikap sinis terhadap aspek-aspek politik tertentu sebagaimana
anak-anak amerika? Pada era otonomi daerah atau desentralisasi, sosialisasi
juga dapat terjadi dan desain untuk kebutuhan regional. Para elit politik yang
ada di daerah dapat saja membuat kebijakan sedemikian rupa, untuk
mengoptimalkan fungsi lembaga pendidikan sebagai media sosialisasi politik.
Salah satu hasil langsung dari
sosialisasi politik adalah tumbuhnya keyakinan akan kemampuan politik (political efficacy) di kalangan
masyarakat. Political efficacy adalah
salah satu hasil (outcome) yang dapat
diperoleh dari sosialisasi politik, yaitu “suatu gambaran bahwa seseorang
menilai dirinya dapat memengaruhi proses keputusan politik pemerintah”
(Massialas, 1969:157). Gambaran ini muncul dari kemampuan orang tersebut
memahami jalannya pemerintahan dan rasa berkompeten untuk mengubahnya. Tingkat efficacy suatu bangsa merupakan indikasi
yang baik bagi kultur politik bangsa tersebut, apakah parochial, subject, civic, atau campuran. Untuk memaksimalkan political efficacy dan meminimalisasi ethnocentrism, guru-guru harus mengikuti
isu-isu sosial politik yang sedang berkembang, memasukkannya dalam program
formal sekolah dan mendiskusikannya secara intensif dengan dukungan semua unsur
yang ada dalam lingkungan sekolah.
Secara lebih luas, sosialisasi politik
melalui proses pendidikan dapat mempengaruhi stabilitas dan transformasi sistem
politik. Pengaruh ini dapat dilihat dari beberapa transformasi politik yang
besar di mana perhatian utama para pemimpin untuk mempertahankan ideologi dan
agenda politiknya adalah dengan mengontrol sistem pendidikan. Ketika sistem
politik mengalami transformasi radikal, seperti Revolusi Prancis dan Revolusi
Rusia, langkah awal yang ditempuh oleh para penguasa yang baru adalah segera
mengubah sistem pendidikan. Mereka mengubah struktur, personil, kurikulum, dan
peserta pendidikan. Para penguasa baru tersebut memaklumi bahwa keberhasilan
dan kontinuitas rezim mereka sangat terkait dengan ide-ide dan pola perilaku
yang ditransmisikan melalui fasilitas pendidikan. Hal serupa juga dilakukan
oleh bangsa-bangsa Eropa untuk memperkuat cengkeraman kolonialisme di
negara-negara Asia dan Afrika. Dalam konteks inilah dapat dilihat dengan jelas
betapa pendidikan berperan besar dalam integrasi sistem politik. Jelas pula
bahwa, jika pendidikan tidak menjalankan fungsi integratifnya dengan baik, akan
muncul tekanan-tekanan dan hambatan-hambatan yang harus dihadapi oleh suatu
sistem politik.
Cara paling umum yang dapat digunakan untuk
mendeskripsikan kontribusi pendidikan terhadap integrasi dan berkelanjutan
suatu sistem politik dijelaskan oleh Easton (1957:311) bahwa pendidikan
membantu mengembangkan dan mentransmisi orientasi dasar politik tertentu yang,
dalam variasi tertentu, harus dimiliki bersama oleh para anggota dari sistem
yang ada. Kita dapat memahami dengan baik fungsi yang dimainkan oleh pendidikan
dalam hal ini jika kita mencari momentum pada proses sosial yang lebih besar
yang sedang berjalan dalam setiap sistem.
Easton (1957:311) melanjutkan “Salah
satu kondisi fundamental untuk mempertahankan suatu sistem politik adalah bahwa
ketika generasi muda dalam suatu masyarakat menginjak dewasa, mereka harus
menguasai ilmu pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap sebagaimana diharapkan
oleh para anggota dari sistem yang ada”. Apakah suatu sistem politik baik atau
buruk , jika sistem itu ingin berlanjut, dalam artian luas sistem tersebut
harus mampu mendidik anggota masyarakat untuk memainkan peran-peran tertentu
yang diharapkan dari mereka. Jika kita menggunakan konsep sosialisasi untuk
mendeskripsikan proses yang harus ditempuh oleh individu untuk menjadi anggota
masyarakat yang sebenarnya, kita dapat mengidentifikasi bahwa aspek dari proses
tersebut relevan dengan penguasaan peran politik sebagai sosialisasi politik (political socialization) atau
politisasi (politicizatiaon).
Apa saja yang terlibat dalam proses
politisasi? Nilai terpenting dari politisasi, menurut Easton (1957:311), karena
politisasi memungkinkan transmisi dan penanaman dalam mematangkan para anggota
suatu sistem politik terhadap orientasi politik dasar yang mesti dimiliki oleh
semua anggota, paling tidak oleh kalangan dewasa.
3. Orientasi Dasar Politik
Orientasi dasar politik (basic political orentation), menurut menurut
Easton (1957:311-12), mencakup tiga elemen utama. Pertama,objek politik
(polotical objects) atau kesan yang dipersepsikan (perceive images). Karena
kita tidak dapat bertindak dalam kevakuman, maka manakala kita melakukan
tindakan politik kita harus mengarahkan diri kita pada objek politik tertentu.
Kita menginginkan sesuatu dari pemerintah, kita mendukung suatu partai atau
seseorang, dan sebagainya. Inilah orang-orang atau lembaga-lembaga yang menjadi
objek tuntutan politik. Orang-orang dan lembaga tersebut memiliki kesan
tersendiri tentang kehidupan politik. Hipotesis dari pandangan ini, menurut
Easton (1957:312), bahwa orang-orang yang memiliki kesan yang berbeda-beda
tentang objek-objek yang menjadi sasaran aktivitas dan tuntutan politik mereka
akan menghadapi kesulitan dalam mengoordinasikan perilaku mereka.
Kedua,
nilai-nilai
(values) atau kesan yang diinginkan (desired images). Mengetahui kesan yang
diinginkan sama halnya dengan pencarian satu aspek sistem kepercayaan dalam
sistem politik. Untuk tujuan ini kita perlu menemukan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. Doktrin atau filosofi politik apakah
yang diikuti oleh para anggota?Siapakah yang dikehendaki oleh para anggota
untuk menjadi otoritas politik mereka? Bagaimana keinginan mereka terhadap
organisasi dari otoritas politik tersebut? Kualitas apakah yang menurut
mereka harus dimanifestasikan oleh
otoritas politik tersebut di dalam menjalankan peranannya? Dengan menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini kita dapat mengidentifikasi dan
mengungkapkan norma-norma politik dasar yang diyakini oleh anggota dari sistem
politik dan membandingkan mereka untuk membuat pengelompokan dan pemisahan
dalam sejumlah variasi.
Ketiga,
Sikap
politik (political attitude). Anggota-anggota
dari suatu sistem memperlihatkan beragam sikap terhadap objek-objek politik.
Mereka mungkin saja berbeda, misalnya, dalam hal keramahan, kehangatan,
penerimaan-penolakan, kepercayaan-kecurigaan, dan minat-ketidaksukaan yang
mereka ekspresikan terhadap institusi-institusi dan otoritas politik.
Sikap-sikap tersebut tentu saja tidak semuanya tertransmisi melalui sistem
pendidikan, tetapi tentu saja sistem pendidikan memainkan peran penting di
dalamnya.
Bagi Easton (1957:312), tiga orientasi
dasar politik di atas tidak diperoleh secara terpisah selama poses politisasi.
Ketiganya satu sama lain saling terkait. Kesan yang dipersepsikan oleh individu tertentu tentang orang-orang ,
praktik, dan isntitusi akan dibentuk secara bersama oleh apa yang dia kehendaki
dan sikap-sikap yang diekspresikannya terhadap objek-objek politik. Banyak
badan dan mekanisme dalam masyarakat yang memberi kontribusi pada sosialisasi
politik anggota suatu sistem politik. Institusi-institusi pendidikan memainkan
peranan penting dalam menentukan ketahanan, integrasi dan perubahan sistem
politik, karena proses pendidikan dapat membentuk jenis-jenis orientasi dasar
yang dimiliki individu. Meskipun kelompok sebaya (peer group), keluarga, mass media, dan pengalaman politik juga
turut menentukan, peranan institusi-institusi pendidikan tidak bisa
dikesampingkan. Rata-rata anak berada di bawah pengaruh sekolah mulai dari usia
lima tahun hingga usia 15 atau 16 tahun,suatu periode yang cukup bagi sekolah
untuk memberi warna pada kehidupan mereka pada masa dewasa. Atas pertimbangan tersebut,
tandas Easton (1957:314), ada cukup alasan untuk percaya bahwa sekolah
memainkan perana penting dalam proses pembentukan dan transmisi orientasi dasar
politik (basic political orientation).
Selain menanamkan orientasi dasar
politik (basic political orientation), institusi-institusi
pendidikan, menurut Harman (1974:11-12), juga mempunyai fungsi penting lainya,
yaitu membantu mengembangkan, memformulasikan, dan mempopulerkan dasar-dasar
ideology sosial dan politik. pendidikan formal memberi kontribusi besar pada
integrasi politik. Sistem pendidikan yang sangat sentralistik telah membantu
menumbuhkan dan memperkuat rasa kenegaraan (sense
of state) dan identitas nasional (national identity). Pendidikan formal
juga membantu menjembatani keterpisahan antar wilayah dan mengasimilasi
anak-anak migran ke dalam masyarakat.
Pendidikan formal sangat mempengaruhi
proses rekruitmen politik. Pada umumnya pendidikan meningkatkan peluang bagi
individu untuk naik ke jenjang kedudukan dan penghasilan yang lebih tinggi dan
untuk mendapatkan status elit politik. Selain itu, tanpa jenis pendidikan
tertentu atau tanpa pernah memasuki lembaga pendidikan tertentu, individu
kurang memiliki kesempatan untuk berkompetisi mendapatkan posisi kunci di
sektor pelayanan publik atau pemerintahan. Misalnya, gelar sarjana meningkatkan
kesempatan bagi seseorang untuk menduduki jabatan tinggi di lembaga
pemerintahan. Pada era otonomi daerah, misalnya, beberapa provinsi menekankan
bahwa para calon kepala dinas diutamakan mereka yang berpendidikan minimal S2.
Wajib belajar yang bersifat universal
telah memainkan peran penting dalam memberantas buta aksara secara masal
sehingga memungkinkan terlaksananya sistem komunikasi dalam sistem politik
modern saat ini. Tanpa massa yang melek huruf suatu sistem politik tidak
mungkin dapat dijalankan dari generasi ke generasi. Kelompok-kelompok yang
dipertemukan melalui industri pendidikan, seperti dosen-dosen, guru dan murid,
sering memainkan peran penting dalam memberi masukan pada sistem politik.
Kelompok-kelompok mahasiswa, misalnya, telah sangat mempengaruhi pandangan
pemerintah tentang berbagai sektor kehidupan publik. Sikap kritis dan dinamis
yang banyak dimiliki oleh para mahasiswa sering kali mempengaruhi kebijakan
publik pemerintah. Begitu juga halnya dengan guru-guru. Mereka juga sering
memainkan peran politik penting dalam masyarakat. Guru-guru adalah kelompok
politik yang signifikan, selain karena partisipasi langsung mereka dalam
politik, juga karena posisi mereka sebagai penghubung komunikasi antara
kelompok elit modern dengan massa rakyat ( Abernethy dan Coombe, 1965: 296).
Melalui guru-guru ide-ide tentang nasionalisme ditransmisi dari para pemimpin
politik dari pers. Tidak jarang guru-guru walaupun tidak selamanya diizinkan menjadi
aktivis partai politik yang terlibat
langsung dalam organisasi dan pendidik politik. Namun, perlu diingat bahwa
keterlibatan guru-guru dalam dunia politik bias didorong oleh keinginan untuk
mengekspresikan aspirasi politik tertentu, bisa juga karena terkooptasi oleh
kekuatan penguasa. Pada masa orde baru (1968-1998), misalnya, guru-guru, baik
secar individu maupun melaui organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia (
PGRI) , banyak yang berafiliasi dengan Golongan Karya (GolKar), kekuatan
hegemoni dalam sistem perpolitikan Indonesia pada waktu itu, karena “ ditekan”
oleh rezim yang berkuasa, bukan karena dorongan untuk mengekspresikan aspirasi
politik tertentu.
Penyelenggaraan lembaga-lembaga
pendidikan dan implementasi kebijakan pendidikan memiliki berbagai konsekuensi
politik penting. Antara lain, lembaga-lembaga tersebut mempengaruhi jenis dan
tingkat pengangguran dalam masyarakat, mobilitas sosial dan stratifikasi, serta
distribusi kekuatan politik dan ekonomi. Lembaga-lembaga tersebut juga
memungkinkan beberapa individu dan kelompok mendapatkan keuntungan secara
sosial dan ekonomi lebih dari yang lainya. Sementara itu,implentasi berbagai
kebijakan membantu melahirkan berbagai tuntunan baru.
4. Civic Education
Studi-studi politik pendidikan dapat
diarahkan pada wilayah permasalahan (problem
areas) yang cukup luas. Apa jenis orientasi yang masuk ke dalam system
sekolah, tidak hanya melalui bahan ajar yang terdapat dapat kurikulum, tetapi
melalui pengajaran informal yang tergantung pada pengetahuan dan pengalaman
para staf pengajar? bagaiman transmiri berbagai jenis orientasi secara
signifikan berhubungan dengan karakteristik sosio-ekonomi, pandangan politik,
etnisitas, agama, dan sejenisnya, dari para staf pengajar? Apa jenis orientasi
yang diserap oleh siswa dari seorang staf pengajar berbeda dengan latar belakan
sosio-ekonomi, etnik, agama dan prefensi politik siswa? Apakah terjadi
disparitas antara kesan yang dipersepsikan (perceived
image) dan kesan yang dikehendaki (distired
image) dalam pikiran siswa?
Biasanya akan ada kesenjangan antara
cara pandang siswa terhadap politik sebagaimana yang terorganisasi dan
dilaksanakan serta sistem publik yang mereka kehendaki. Jika ada kesenjangan
yang cukup besar antara kesan yang dipersepsikan (perceived image) dan kesan yang diinginkan (distired image), maka ada alasan untuk percaya bahwa seorang
individu dalam posisi siap untuk menggeser aliansi politiknya dari satu orietas
politik ke orietas politik lainya.
Selain itu, penting juga diketahui sejauh mana orientasi politik yang dibentuk
melalui pengalaman pendidikan berlanjut pada kehidupan dewasa.
Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan
di atas, menurut Easton (1957: 315), akan membantu para ilmuan politik memahami
secara konkret proses yang dilalui oleh pendidikan dalam mempengaruhi integrasi
sistem politik. Karena pemahaman tersebut memberi pengetahuan tentang
konsekuensi-konsekuensi politik pendidikan, para ilmuan pendidikan akan lebih
mudah memahami relasi institusi-institusi mereka dengan masyarakat lebih luas
di mana mereka adalah salah satu bagianya. Dan yang tidak kalah pentingnya,
para ilmuan pendidikan juga akan mampu membandingkan efek pendidikan terhadap
ilmu pengetahuan, nilai dan sikap individu dengan tujuan-tujuan yang
diartikulasikan dalam filsafat pendidikan dimana sistem pendidikan mereka
dijalankan. Dengan demikian, mereka akan mendapatkan informasi tentang
keberhasilan pendidikan dalam mencapai tujuan-tujuanya pada era yang lebih
kurang dapat disebut training for
citizenship.
Inilah salah satu alasan penting
dicantumkannya pendidikan kewargaan (civic
education) dalam kurikulum pendidikan di berbagai negara. Meskipun
mengalami perubahan nama, bidang studi ini terus-menerus dicantumkan dalam
kurikulum nasional pendidikan Indonesia. Hingga awal tahun 1980-an, istilah
yang dipergunakan untuk pendidikan kewargaan dalam sistem pendidikan Indonesia
adalah civic. Memasuki akhir tahun
1980-an, istilah civic dihapus, lalu
digantikan dengan nama-nama lain yang lebih kontekstual dengan kebutuhan
sosio-politik penguasa pada waktu itu, seperti Pendidikan Moral Pancasila
(PMP), Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Namun setelah era
reformasi, tuntutan akan civic education kembali
muncul dikalangan pengamat dan praktisi pendidikan. Atas dasar tuntutan
tersebut berbagai institusi pendidikan mulai melakukan kajian-kajian untuk
mempersiapkan pendidikan kewargaan (civic
education). Dilingkungan erguruan tinggi agama Islam (PTAI), persiapan
tersebut tidak kalah gencarnya. Pada tahun 2000 Pusat Penelitian Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (saat ini universitas islam
Jakarta) menerbitkan buku berjudul Pendidikan Kewargaan (civic education) Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani.
Buku tersebut memuat penjelasan-penjelasan tentang signifikansi, konteks, ruang
lingkup, dan pendekatan civic education. Tentu
saja buku tersebut diharapkan mendorong berbagai lembaga pendidikan tinggi
untuk menyajikan civic education dalm
kurikulum mereka.
Namun, harus diingat bahwa lembaga
pendidikan bukanlah satu-satunya agen yang terlibat dalam proses sosialisasi
politik. Keluarga dan mass media juga memainkan peran penting dalam proses
tersebut (Connel 1969, 1970, dan 1971). Namun kenyataan bahwa sekolah memiliki
akses terhadap pikiran anak-anak selama berjam-jam sehari untuk masa paling
tidak sepuluh tahun berturut-turut, memberikan kesempatan besar pada sekolah
untuk mempengaruhi ide-ide da sikap-sikap politik, dan cukup banyak bukti
tentang hal ini. Sekolah-sekolah, baik swasta maupun negeri, sangat giat
mengindoktrinasi anak-anak dengan nilai-nilai dasar masyarakat, dan mendorong
mereka untuk menerima symbol-simbol politik bangsa dan sikap terhadap penguasa
dan rezim. Sekolah dan system sekolah cenderung percaya begitu saja bahwa
adalah bagian dari peran dan tanggungjawab mereka.
Institusi-institusi pendidikan, walaupun
pada awalnya didesain untuk menjalankan fungsi-fungsi pendidikan semata, dalam
perkembanganya bisa saja menjalankan fungsi-fungsi politik tertentu, baik
disadari maupun tidak disadari oleh para pengelolanya. Ada tiga alasan utama
untuk hal ini. Pertama, karena
keberadaan dan perkembangan institusi pendidikan tidak terlepas dari dinamaika
sosial politik masyarakat lingkunganya. Kedua,
karena kuatnya kecenderungan para politisi untuk mengeksploitasi peran
institusi pendidikan untuk kepentingan politik mereka. Ketiga, karena para pengelola sekolah pada dasarnya juga adalah
para politisi yang senantiasa dihadapkan pada dinamika internal maupun
eksternal.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
:
Salah satu kandungan dari institusi
pendidikan adalah politik, yakni politik yang tidak lain politik untuk
memaju-kembangkan pendidikan. Namun, dalam kenyataan pada umumnya,
fungsi-fungsi tersebut dapat berubah haluan untuk kepentingan yang
lain.Meskipun tidak sepenuhnya melenceng dari tujuan dasar, karena banyak pula
didapati unsur politik berperan penting dalam memaju-kembangkan institusi
pendidikan. Sebagai contoh semakin pesatnya lembaga-lembaga pendidikan dengan
indikator banyaknya”warna-warna” model pendidikan, mulai dari pendidikan dasar
sampai pendidikan tingkat tinggi. Baik itu lembaga yang berstatus negeri maupun
swasta, maupun lembagayang berorientasi sebagai jembatan untuk mencerdaskan
anak bangsa dan demi kemajuan bangsa.Sampai disitu, maka penilaiannya masih
dianggap murni atau tidak melenceng,akan tetapi, bila sudah tercampuri dengan
unsur-unsur yang dinilai tidak sesuai tujuan awal diadakannya lembaga
pendidikan, seperti tujuan untuk politik yang pada akhirnya untuk meraih
kekuasaan, maka disinilah letak nilai negatifnya dari fungsi politik intsitusi
pendidikan.
DAFTAR
PUSTAKA
Easton, David, The Function of Formal Education in a
Political System, School Review Vol.65, autumn, 1957.
Eliot,Thomas, Toward an Understanding of Public School
Politics, American Political Science Review. Vol. 53, No. 4, December, 1959.
Michael W. Aple, Common Curricullum and State Control, Discourse, 2
(2), 1982, dan Roger Dale, Loc.Cit.
Sirozi, M., Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara
Kepentingan Kekuasaan dan Praktek Penyelenggaraan Pendidikan, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2010.
Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
[1]
M. Sirozi,
Politik Pendidikan, Dinamika Hubungan Antara Kepentingan Kekuasaan dan
Praktek Penyelenggaraan
Pendidikan,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 37-57.
[2] David
Easton, The Function of Formal Education in a Political System, School
Review Vol.65, autumn, 1957, hlm.304-416.
[3]
Thomas
Eliot, Toward an Understanding of Public School Politics, American
Political Science Review. Vol. 53, No. 4, December, 1959, hlm.1032-1051.
[4] Michael W.
Aple, Common Curricullum and State Control, Discourse, 2 (2), 1982, h. 1 dan
Roger Dale, Loc.Cit. hlm. 2.
[5]
Pada tanggal 15
Oktober 2004, Undang-undang tersebut telah direvisi dan secara resmi telah
digantikan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar