POLITIK DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ERA REFORMASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan di era reformasi lahir sebagai koreksi, perbaikan, dan
penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang
dilakukan secara menyeluruh yang meliputi bidang pendidikan, pertahanan,
keamanan, agama, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan
lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan pada sifatnya yang lebih
demokratis, adil, transparan, akuntabel, kredibel, dan bertanggung jawab dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, tertib, aman dan sejahtera.
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis
dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh
masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang
bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku
bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama.
B.
Rumusan Masalah :
1.
Bagaimana pergeseran pendidikan nasional dari masa pembangunan hingga masa
reformasi?
2.
Bagaimana perkembangan pendidikan masa reformasi?
C. Tujuan :
1. Untuk mengetahui pergeseran pendidikan nasional dari masa pembangunan
hingga reformasi.
2. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan masa reformasi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masa Pembangunan Hingga Reformasi
Sejak 1966
Indonesia diperintah oleh Orde Baru. Peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru
membawa konsekuensi perubahan strategi politik dan kebijakan pendidikan
nasional. Pada dasarnya Orde Baru adalah suatu koreksi total terhadap Orde
sebelumnya yang didominasi oleh PKI dan dianggap menyelewengkan Pancasila.
Demikian pula munculnya era Reformasi sejak 1998 ditandai dengan berbagai upaya
pembaharuan sistem politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan nasional.
Fokus
perhatian Orde Baru ditujukan pada empat tahap strategi politik. Semuanya
berpengaruh langsung bagi kebijakan pendidikan nasional, yaitu: tahap
pertama, penghancuran PKI beserta ideologi Marxisme dari kehidupan politik
bangsa, serta membersihkan semua lembaga dan kekuatan sosial politik dari kader-kader
PKI dan proses de-Nasakomisasi seluruh aspek kehidupan bangsa. Tahap kedua,
konsolidasi Pemerintah dan pemurnian Pancasila dan UUD 1945; tahap ketiga,
menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional; dan tahap keempat
mengembalikan kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Itu sebabnya
Orde Baru diidentikkan dengan masa pembangunan.
Apa implikasi
keempat tahap strategi politik yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru
tersebut bagi kebijakan pendidikan nasional?
Implikasinya,
pada tahap pertama, pembubaran PKI,
menimbulkan perubahan sekolah-sekolah yang bernaung di bawah PKI dan organisasi
yang ada di bawahnya. Karenanya, pada tahun 1966 sampai 1971 terdapat gejala
penurunan sekolah. Setelah resmi dibubarkan, PKI praktis tidak terlibat dalam
birokrasi pemerintah maupun parpol lagi. Kondisi ini
menguatkan posisi kelompok nasionalis dengan aksi pemurnian Pancasilanya
melalui Orde Baru, dan kelompok Muslim yang smeula tersingkir dari
keterlibatannya di arena politik. Tidak seperti Orde Lama, Kebijakan pendidikan
agama kini wajib diberikan mulai TK sampai Universitas. Status madrasah
disejajarkan dengan sekolah umum. Kurikulum yang semula terurai dalam Sapta
Usaha Tama dan Pancawardhana, yang berkarakter kini tersebut, diganti dengan
kurikulum bermuatan pembinaan Pancasila. Prestasi penting lainnya adalah
diberlakukannya UUSPN No.2 Tahun 1989. Kurikulum 1994, manutup produk kebijakan
pendidikan masa Orde Baru.
Tahap kedua, mengadakan
konsolidasi pemerintah dan pemurnian pancasila, hal ini berpengaruh besar bagi
perubahan redaksi tujuan pendidikan nasional. Konsolidasi pemerintah dilakukan
dengan pembentukan kabinet baru dan menyusunan program pembangunan. Adapun
upaya pemurnian Pancasila menjadi prioritas. Sebagaimana telah disebut pada
bagian sebelumnya, ketika pengaruh ide Manipol masih kuat, maka tujuan
pendidikannya diarahkan supaya melahirkan warga negara sosialis Indonesia
yang susila, yang bertanggungjawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis
Indonesia, dan seterusnya, maka ketika PKI dibubarkan, kembali pada UUD 1945 dan
pemurnian Pancasila, tujuan pendidikannya pun menjadi membentuk manusia berdasarkan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh
pembukaan UUD 1945. Perubahan
mendasar di atas menunjukkan bahwa ide manipol USDEK telah diganti secara tegas
menjadi falsafah Pancasila. Lantas, upaya pemurnian Pancasila.
Orde
Baru diwarnai dengan semangat serba Pancasila. Semangat ini selalu ditekankan,
baik dalm bidang politik maupun pendidikan. Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan
dan Pengenalan Pancasila) harus diberikan kepada siswa/peserta didik yang
diterima di sekolah atau PT, disamping masih adanya mata pelajaran Pancasila.
Mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) termasuk yang mempengaruhi
kenaikan kelas atau kelulusan sekolah. Setelah EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap
Akhir Nasional) diberlakukan, PMP menjadi komponen bidang studi yang
mempengaruhi nilai komulatif DANEM (Daftar Nilai EBTANAS Murni), padahal DANEM
berfungsi sebagai standar memasuki jenjang pendidikan di atasnya. Penataran P-4
juga berlaku bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di tingkat desa pun, penduduk
didata untuk memperoleh pembinaan P-4. Sejak 1984, semua parpol dan ormas
diharuskan menganut partai tunggal, Pancasila. Orde Baru diwarnai dengan
semangat serba Pancasila.
Pada tahap ketiga, menghapuskan dualisme dalam kepemimpinan nasional.
Untuk itu diadakan sidang
istimewa MPRS tahun1967 dengan hasil diangkatnya Soeharto sebagai Presiden,
juga menghapuskan dualisme penafsiran tentang Pancasila dan UUD 1945.
Implikasi
tahap keempat, mengembalikan
kestabilan politik dan merencanakan pembangunan. Strategi ini dilakukan dengan
jalan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan ekonomi serta mengembalikan
wibawa pemerintah dari pusat sampai desa. Pembangunan dilaksanakan pada semua
bidang, utamanya ekonomi dan pendidikan.
Konsentrasi
pembangunan ekonomi menunjukkan record
yang membanggakan. Pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru meningkat secara
rata-rata sebesar 6,8% per tahun. Laju pertumbuhan ini adalah lebih tinggi dari
pada laju pertumbuhan ekonomi rata-rata yang ditetepkan di setiap Pelita, yaitu
sebesar 5%. Pendapatan perkapita naik secara mencolok, dari Rp. 20.000,00
pertahun pada tahun 1969 menjadi Rp. 1.038.000,00 pertahun pada 1991, yang berarti
meningkat lebih dari 51 kali lipat. Penduduk miskin telah berkurang secara
drastis dari sebanyak 54,2 juta orang atau 40,1% dari jumlah penduduk Indonesia
pada tahun1976 menjadi tinggal sebanyak 27,2 juta orang atau 15,1% dari jumlah
penduduk Indonesia pada tahun 1990. Belanja pembangunan selama Repelita I
meningkat dai 1,3 trilyun rupiah menjadi hampir 78 trilyun rupiah pada Repelita
V, atau meningkat 61 kali lipat. Peranan tabungan juga meningkat dari 44,5%
dalam Pelita I menjadi 49,5% dalam Repelita V. di lain pihak peranan bantuan
luar negeri semakin menurun dalam periode yang sama, yaitu dari 55,5% menjadi
50,5%. Sampai pada 1996, pertumbuhan ekonomi berkisar 7,5%, atau lebih dari
1995 yang mencapai 8,07% pertahun, namun perolehan ini masih dipuji bahkan
menurut East Asian Standard, walaupun
di saat yang sama, sebagai isyarat mulai turunnya pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini menandakan bahwa kemampuan dalam negeri makin meningkat dan ketergantungan
pada bantuan luar negeri makin berkurang. Secara makro, dinamika pembangunan
nasional menunjukkan kemajuan yang mengesankan, terutama kehadiran pertumbuhan
ekomoni.
Kemajuan
sektor pendidikan juga tampil denga record
positif. Selama PJP I (1969-1991), sekolah, guru dan murid SD meningkat secara
mencolok, lebih dari 3,5 kali lipat. Kelembagaan SLTP juga mengalami
peningkatan lebih dari 4 kali lipat, dan kelembagaan SLTA meningkat lebih dari
5,5 kali lipat. Terlebih jumlah guru dan murid SLTA, keduanya meningkat lebih
dari 8 kali lipat. Di lingkugna PT, jumlah kelembagaannya meningkat lebih dari
3,5 kali lipat. Jumlah dosen meningkat lebih dari 9 kali lipat, sementara
jumlah peserta didik juga meningkat hampir 9 kali lipat. Semua peningkatan tersebut dicapai pada tahun
1991, bila dibandingkan dengan awal Repelita I, 1969. Bias jadi perkembangan
kuantitatif kelembagaan pendidikan ini berarti peningkatan partisipasi dan
kesadaran masyarakat atas pendidikan, tapi, di balik itu, bukankah jumlah
penduduk secara nasional juga meningkat tajam?
Sekarang
bagaimana dengan pembangunan bidang (Pendidikan) Agama Islam? Masa Orde Baru
ini mencatat banyak keberhasilan, diantaranya adalah: pemerintah memberlakukan
pendidikan agama dari tingkat SD hingga Universitas (TAP MPRS
No.XXVII/MPRS/1966), madrasah mendapat perlakuan dan status yang sejajar dengan
sekolah umum, pesantren mendapat perhatian melalui subsidi dan pembinaan,
berdirinya MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada 1975, pelarangan SDSB (Sumbangan
Dana Sosial Berhadiah) mulai 1993 setelah berjalan sejak awal tahun 1980-an.
Pemerintah juga akhirnya member izin pada pelajar Muslimah untuk memakai rok
panjang dan busana jilbab di sekolah-sekolah negeri sebagai ganti seragam
sekolah yang biasanya dengan rok pendek dan kepala terbuka, terbentuknya UU
No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dukungan pemerintah terhadap
pendirian Bank Islam, Bank Muamalat Islam
yang telah lama diusulkan, lalu diteruskan dengan pendirian BAZIS (Badan Amal
Zakat Infak dan Sedekah) yang idenya telah muncul sejak 1968, berdirinya
Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, pemberlakuan label halal atau haram oleh MUI
bagi produk makanan dan minuman pada kemasannya, terutama bagi jenis olahan.
Selanjutnya, pemerintah juga memfasilitasi penyebaran da’i ke daerah terpencil dan lahan transmigrasi, mengadakan MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an), peringatan
hari besar Islam di Masjid Istiqlal, mencetak dan mengedarkan Mushaf Al-Qur’an dan buku-buku agama
Islam untuk kemudian diberikan ke Masjid atau perpustakaan Islam, terpusatnya
jama’ah haji di Asrama Haji, berdirinya MAN PK (Program Khusus) mulai 1968, dan
pendidikan Pascasarjana untuk dosen IAIN baik ke dalam maupun luar negeri,
merupakan keberhasilan lainnya. khusus mengenai Kebijakan ini, Departemen Agama
telah membuka program Pascasarjana IAIN sejak 1983 dan join cooperation dengan negara-negara Barat untuk studi lanjut
jenjang Magister maupun Doktor. Selain itu, penayangan pelajaran bahasa Arab di
TVRI dilakukan sejak 1990, serta berdirinya Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) pada 1990, dan sebagainya. Akibat semua kebijakan tersebut, pembangunan
bidang agama Islam yang dilakukan Orde Baru mempercepat peningkatan jumlah umat
Islam terdidik dan kelas menengah Muslim perkotaan.
Data
di atas adalah sebuah prestasi. Akan tetapi, prioritas pembangunan ekonomi
berjalan tidak seimbang dengan demokrasi. Konsentrasi pembangunan ekonomi
menyebabkan kehidupan demokrasi agak terlantar. Pemilu dilaksanakan tanpa
system multipartai sebagaimana Pemilu 1955, bahkan sejak 1973 jumlah partai
disederhanakan menjadi tiga kontestan, yang pada 1984 semua parpol harus
berasas tunggal, Pancasila. Kebebasan pers dan mimbar diawasi secara ketat, di
penghujung tahun 1960 sampai 1980, terjadi banyak insiden kekerasan yang
diklaim oleh pemerintah sebagai ekstrim
kanan, dimana hal itu dijadikan oleh pemerintah untuk mewaspadai gerakan
Islam militan. Termasuk dalam hal ini adalah peristiwa pembajakan pesawat
Garuda, pengeboman bank-bank milik etnis Tionghoa, Pengeboman Candi Borobudur
di Jawa Tengah, ketegangan sosial diberbagai daerah antara kelompok Muslim
dengan pemerintah lokal, serta protes para pekerja Muslim di Tanjung Priok,
Jakarta, terhadap pengotoran Masjid oleh tentara beragama Kristen. Kulminasi
kekerasan kian meningkat dipenghujung Orde Baru, tahun 1996 diwarnai dengan
kekerasan, seperti: pelanggaran hak-hak politik oleh aparat menimbulkan aksi
kekerasan missal, pelanggaran HAM dan kerusuhan antar agama terjadi diberbagai
tempat, seperti Situbondo, Tasikmalaya, Pekalongan dan Purwakarta. Lebih dari
itu, kasus pertanahan, aksi kaum buruh dan kekerasan terhadap perempuan
meningkat.
Ketimpangan antara pembangunan ekonomi dengan demokratisasi demikian
menjadikan pembangunan bersifat artificial
atau semu karena yang tampak dipermukaan adalah gedung dan menara yang tinggi,
melambangkan kemampuan usaha dan ekonomi yang unggul, sementara pada lapis
bawah (grass-root), rakyat tidak
merasakan pemerataan hasil pembangunan ekonomi. Akibat
lain berimbas pada bidang pendidikan. Pendidikan tidak menjadi headline, karena alokasi dana pendidikan
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan alokasi dana bidang pembangunan
ekonomi dan industri. Meskipun bidang ekonomi dan pendidikan, keduanya dirancang
melalui Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) dan PJP (Pembangunan Jangka
Panjang), kebijakan yang ditempuh adalah sekotoral, ternyata tidak mampu saling
menutupi.
Kembali
kepada konteksnya, apa yang berubah dalam produk kebijakan pendidikan pada masa
pembangunan ini? Produk kebijakan pendidikan pada masa pembangunan ini
dihasilkan melalui program jangka pendek dalam Repelita maupun PJP. Produknya
tercermin dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (UUSPN) No.2 Tahun 1989, Peraturan Pemerintah (PP), serta
Surat Keputusan Menteri, dan lain-lain.
GBHN
memuat berbagai bidang pembangunan nasional, termasuk bidang pendidikan. GBHN
menginginkan agar setiap warga negara memperoleh kesempatan yang maksimal untuk
menikmati pendidikan setinggi-tingginya. Berikut ini adalah uraian ringkas
mengenai pola isi dan tema pokok GBHN yang menunjukkan adanya perubahan
kebijakan pendidikan nasional. GBHN 1973, GBHN1978, GBHN
1983, GBHN 1988, dan GBHN 1993 memiliki pola isi dan tema yang tak jauh
berbeda, yaitu:
a.
Dasar dan
tujuan pendidikan nasional
b.
Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4)
c.
Pendidikan
Moral Pancasila (PMP)
d.
Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB)
e.
Wajib Belajar
f.
Kesempatan
Belajar
g.
Sistem
Pendidikan Nasional
h.
Pendidikan
umum dan kejuruan
i.
Pendidikan
Luar Sekolah
j.
Perguruan
swasta
k.
Perguruan
tinggi
l.
Tenaga
pendidik
m.
Sarana dan
prasarana
n.
Pendidikan
olah raga
o.
Pendidikan
bahasa Indonesia
p.
Perpustakaan
Berikut ini disampaikan kutipan GBHN 1978 yang terkait dengan pendidikan:
GBHN 1978
a. Bahwa pendidikan nasional berdasarkan atas
Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
kecerdasan, keterampilan, memepertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian
dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun diri sendiri serta bersama-sama
bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
b. Dalam rangka melaksanakan pendidikan nasional
perlu diambil langkah-langkah yang memungkinkan penghayatan dan pengamalan
Pancasila oleh seluruh lapisan masyarakat.
c. Pendidikan Pancasila termasuk Pendidikan
Moral Pancasila dan unsur yang meneruskan dan mengembangkan jiwa dan
nilai-nilai 1945 kepada generasi muda dimasukkan ke dalam kurikulum di
sekolah-sekolah, mulai dari Taman Kanak-kanak dampai Universitas baik negeri
maupun swasta.
d. Pendidikan berlangsung seumur hidup dan
dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena
itu, pendidikan adalah tanggung jawab bersama anatar keluarga, masyarakat dan
pemerintah.
e. Perguruan swasta mempunyai peranan dan
tanggungjawab dalam usaha melaksanakan pendidikan nasional. Untuk itu perlu
dikembangkan pertumbuhan sesuai dengan kemampuan yang ada berdasarkan pola
pendidikan nasional yang mantap, dengan tetap mengindahkan ciri-ciri khas
perguruan yang bersangkutan.
f. Pendidikan juga menjangkau program-progran
luar sekolah yaitu pendidikan yang bersifat kemasyarakatan, termasuk kepramukaan,
latihan-latihan keterampilan dan pemberantasan buta huruf dengan
mendayagunakan sarana dan prasarana yang ada.
g. Mutu pendidikan diangkat untuk mengejar
ketinggalan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang mutlak diperlukan
untuk mempercepat pembangunan.
h. Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan
kebutuhan pembangunan segala bidang yang memerlukan segala jenis-jenis
keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas
mutu dan efisiensi kerja.
Sumber.TAP MPR No.IV/MPR/1978
|
Di antara perubahan isi
GBHN adalah bahwa Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) yang telah dimuat
sejak GBHN 1983, atas prakarsa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Prof. Dr.
Nugroho Notosusanto), dalam praktiknya mata pelajaran ini tidak berlangsung
lama karena terjadi pergantian menteri. Sementara itu sejak GBHN 1988 telah
dinyatakan pentingnya pendidikan yang terpadu dan serasi (konsep link and
match), suatu konsep yang pelaksanaannya lebih populer pada masa Kabinet
Pembangunan VI. Hal lain yang ebrbeda adalah dikembangkannya upaya pendidikan
seumur hidup (life long education).
Selain dalam GBHN, produk
kebijakan pendidikan nasional yang penting pada mas ini adalah UUSPN No.2 tahun
1989. Sebelum tahun 1989, Undang-undang yang berlaku adalah UUP No.4 Tahun 1950
jo UUP No.12 Tahun 1954 dan UUPP No.2 Tahun 1961 yang sering dipandang sebagai
suatu kendala yang cukup mendasar bagi pembangunan pendidikan yang berlandaskan
Pancasila dan UUD 1945. Undang-undang tersebut, di samping tidak mencerminkan
landasan kesatuan sistem pendidikan nasional, karena didasarkan pada
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat, juga tidak sebagaimana
diamanatkan oelh UUD 1945. Sedangkan UUSPN No.2 Tahun 1989 memberikan arah bagi
terwujudnya sati sistem pendidikan nasional dilaksanakan secara semesta,
menyeluruh dan terpadu. Semesta artinya terbuka bagi seluruh rakyat dan
berlaku di seluruh wilayah negara. Menyeluruh berarti mencakup semua jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan, sedangkan terpadu berarti adanya saling
keterkaitan antara pendidikan nasional dengan seluruh usaha pembangunan
nasional. UUSPN No.2 Tahun 1989 ini menganut demokrasi pendidikan, asas
pendidikan seumur hidup, bersifat luwes dan fleksibel.
Perbandingan isi UUP No.4
Tahun 1950 dengan UUSPN No.2 Tahun 1989 dan perkembangan rumusan tujuan
pendidikan nasional sejak masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang hingga masa
Orde Baru disampaikan di halaman sendiri setelah ini.
Semua langkah strategis
dan keputusan politik di atas, membuktikan bahwa kebijakan politik di Indonesia
berpengaruh besar dan langsung bagi pendidikan nasional. Berangkat dari sini
dapat ditarik beberapa argumen bahwa: pertama, perubahan politik selalu
menimbulkan perubahan kebijakan pendidikan. Pada masa kolonial, kebijakan
pendidikan dilaksanakan menurut kepentingan penjajah. Setelah merdeka,
orientasi pendidikan untuk kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara. Kedua,
perkembangan politik lebih cepat dari pada perkembangan pendidikan. Keputusan
politik yang diambil oleh individu dan atau kelompok dalam pemerintahan
tertentu memiliki implikasi luas bagi masyarakat. Itu sebabnya membenahi
praktik pendidikan mestilah disertai dengan pembaharuan kebijakannya. Ketiga,
arah kebijakan pendidikan nasional bidang agama Islam pasca kolonial cenderung
terus mengalami pembaharuan substansial maupun operasional, meskipun intensitasnya
berbeda abtara satu fase dengan fase berikutnya.
Mengakhiri bagian ini,
berikut ini disampaikan tabel perbandingan isi UUPP No.4 Tahun 1950, UUSPN No.2
Tahun 1989 dengan Sisdiknas 2003, tabel pergeseran tujuan pendidikan di
Indonesia sejak masa kolonial Belanda, Jepang sampai masa kemerdekaan, serta
sistem persekolahan yang dianut sampai dengan diundangkanny UUSPN No.2 Tahun
1989 yang hingga kini masih berlaku.
TABEL IV
PERBANDINGAN
ISI UUPP NO.4 TAHUN 1950,
UUSPN NO.2
TAHUN 1989 DAN SISDIKNAS 2003
Bab
|
UUPP NO.4 TAHUN 1950
|
UUSPN NO.2 TAHUN 1898
|
Sisdiknas 2003
|
1
|
Ketentuan Umum
|
Ketentuan Umum
|
Ketentuan Umum
|
2
|
Tujuan Pendidikan dan
Pengajaran
|
Dasar, Fungsi, dan
Tujuan
|
Dasar, Fungsi, dan
Tujuan
|
3
|
Dasar-dasar Pendidikan
dan Pengajaran
|
Hak Warga Negara Untuk
Memperoleh Pendidikan
|
Prinsip Penyelanggaraan
Pendidikan
|
4
|
Tentang Bahasa
|
Satuan, Jalur dan Jenis
Pendidikan
|
Hak dan Kewajiban Warga
Negara, Orang tua, Masyarakat, dan Pemerintah
|
5
|
Tentang Jenis
Pendidikan dan Pengajaran dan Maksudnya
|
Jenjang Pendidikan
|
Peserta Didik
|
6
|
Pendidikan Jasmani
|
Peserta Didik
|
Jalur, Jenjang, dan
Jenis Pendidikan
|
7
|
Kewajiban Belajar
|
Tenaga Kependidikan
|
Bahasa Pengantar
|
8
|
Tentang Mendirikan dan
Menyelenggarakan Sekolah
|
Sumber Daya Manusia
|
Wajib Belajar
|
9
|
Tentang Sekolah
Partikelir
|
Kurikulum
|
Standar Nasional
Pendidikan
|
10
|
Tentang Guru
|
Haru Belajar dan Libur
|
Kurikulum
|
11
|
Tentang Murid-Murid
|
Bahasa Pengantar
|
Pendidik dan Tenaga
Kependidikan
|
12
|
Tentang Pengajaran
Agama di Sekolah Negeri
|
Penilaian
|
Sarana dan Prasarana
Pendidikan
|
13
|
Tentang Pendidikan
Campuran dan Pendidikan Terpisah
|
Peran Serta Masyarakat
|
Pendanaan Pendidikan
|
14
|
Tentang Uang Sekolah
dan Uang Alat-Alat Pengajaran
|
Badan Pertimbangan
Pendidikan Nasional
|
Pengelolaan Pendidikan
|
15
|
Tentang Liburan Sekolah
dan Hari-Hari Sekolah
|
Pengelolaan
|
Peran Serta Masyarakat
dalam Pendidikan
|
16
|
Tentang Pengawasan dan
Pemerliharaan Pendidikan dan Pengajaran
|
Pengawasan
|
Evaluasi, Akreditasi,
dan Sertifikasi
|
17
|
Aturan Penutup
|
Ketentuan lain-lain
|
Pendirian Satuan
Pendidikan
|
18
|
Ketentuan Pidana
|
Penyelenggaraan
Pendidikan oleh Lembaga Negara Lain
|
|
19
|
Ketentuan Peralihan
|
Pengawasan
|
|
20
|
Ketentuan Penutup
|
Ketentuan Pidana
|
|
21
|
Ketentuan Peralihan
|
||
22
|
Ketentuan Penutup
|
Dari tabel perbandingan di atas dapat diakatakan bahwa; pertama, UUPP No.4
tahun 1950 isinya bersifat terbatas baik dari sisi berlakunya, yakni untuk
pendidikan dan pengajaran di sekolah (Bab I pasal 1), sedang pendidikan dan
pengajaran di sekolah-sekolah ditetapkan dalam undang-undang lain (pasal 2),
maupun masa berlakunya yang sementara, yakni hanya berlaku di daerah Republik
Indonesia yang ketika itu ibu kotanya di Yogyakarta, lalu ditetapkan untuk seluruh
Indonesia melalui UUPP No.12 Tahun 1954. Sedangkan UUSPN No.2 Tahun 1989 isinya
bersifat lebih luas, tidak hanya berlaku bagi sekolah semata, melainkan juga
mencakup sekolah-sekolah agama, misalnya madrasah, maupun cakupan isi
sebagaimana tercermin dalam bab dan pasalnya, lebih rinci dan komprehensif.
Status demikian kian diperkuat dalam sisdiknas 2003.
Kedua, pelajaran
agama menurut UUPP No.2 Tahun 1950diadakan di sekolah-sekolah negeri, dan orang
tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut atau
tidak (Bab XII pasal 1), sedang pelajaran agama menurut UUSPN No.2 Tahun 1989
mewajibkan diberikannya pelajaran agama mulai dari TK sampai PT (negeri maupun
swasta, bahkan dalam PP No. 27 Tahun1990 tentang pendidikan prasekolah (TK), dinyatakan
bahwa isi program belajar pendidikan di TK meliputi pengembangan bidang agama).
Kebijakan ini diteruskan dalam Sisdiknas 2003. Jelas hal ini menunjukkan adanya
penguatan unsur agama dalam kebijakan pendidikan nasional.
Ketiga, sistem persekolahan berdasarkan UUPP No.4
Tahun 1950 dan UU No.22 Tahun 1961 berpola 2-6-3-3-5 tahun, masing-masing untuk
TK-SD-SMP-SMA-PT, sedang sistem persekolahan berdasarkan UUSPN No.2 Tahun 1989
berpola 2-6-3-3-4 tahun dengan penghapusan jenajng Sarjana Muda sebagai Sarjana
Strata Satu selama empat tahun. Perbedaan lain, ada UUSPN No.2 TAHUN 1989 dan
Sisdiknas 2003, diselenggarakan pendidika program Diploma, jenjang Magister
(Strata Dua), dan Doktor (Strata Tiga). Di samping itu, Bustanul Athfal,
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA),
memiliki status yang sejajar dengan TK, SD, SLTP, dan SMU. Untuk lebij jelasnya
dapat dilihat dalam Tabel VI di bagian akhir bab ini.
Keempat, beberapa pasal yang
tidak dimuat dalam UUPP No.4 Tahun 1950, seperti hak warga negara, satuan,
jalur dan jenis-jenis pendidikan, kurikulum, peran serta masyarakat dan BPPN,
dimuat secara jelas dala UUSPN No.2 Tahun 1989. Sementara beberapa komponen
UUPP No.4 Tahun 1950 yang telah tidak sesuai, misalnya tentang pendidikan agama
dan tujuan pendidikan dari waktu ke waktu, sejak masa kolonial Belanda Jepang,
awal Kemerdekaan hingga terbentuknya UUSPN No.2 Tahun 1989, disajikan dalam
tabel di bawah ini.
Kelima, pengembangan kurikulum secara mendasar terjadi pasa Sisdiknas 2003. Pada
UUSPN No.2 Tahun 1989 memberlakukan kurikulum 1994 yang dipandang sebagai
penyempurnaan kurikulum 1984, sedang kurikulum Berbasis kompetensi (KBK).
Bedanya, kurikulum 1994 (konvensional) berorientasi pada penguasaan isi/materi
(content based), sementara kurikulum 2004 berorientasi pada kemapuan (competency
based). Perbedaan tersebut mengakibatkan pola hubungan guru-murid menjadi
lebih humanistik, proses belajar-mengajar yang inetraktif-dinamis, serta
evaluasi yang holistik. Bila kurikulum 1994 menekankan pada pencapaian tujuan,
maka Kurikulum Berbasis Kompetensi mengutamakan proses dan produk.
TABEL V
PERGESERAN TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
KURUN WAKTU TUJUAN PENDIDIKAN ANALISIS
FAKTOR PERUBAHAN
Kurun Waktu
|
Tujuan Pendidikan
|
Analisis Faktor
Perubahan
|
Masa Belanda:
1. Sebelum 1900
2. Sesudah 1900
|
Membentuk kelas elite
Membentuk kelas elite
dan tenaga terdidik murah
|
Untuk memenuhi
kebutuhan tenaga buruh, kepentingan kaum modal dan tenaga administrasi
|
Masa Jepang (1942-1945)
|
Memenuhi tenaga buruh
dan militer
|
Kepentingan perang
Jepang
|
Tahun 1946
|
Membentuk warga negara
yangs ejati dan dapat menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara
|
Semangat nasionalisme
dan patriotisme
|
UUPP No.4 Tahun 1950
|
Membentuk Manusia
susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab
tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air
|
Pengaruh bentuk negara
RIS dan sistem Demokrasi Parlementer
|
KEPRES RI No.145 Tahun
1965
|
Melahirkan warga negara
sosial Indonesia yang susila yang bertanggung jawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spiritual maupun materiil
yang berjiwa Pancasila, yaitu:
a. KeTuhanan Yang Maha Esa
b. Perikemanusiaan yang adil dan beradab
c. Kebangsaan
d. kerakyatan
e. Keadilan sosial, seperti yang dijelaskan
dalam Manipol USDEK
|
Ide Manipol USDEK dan
pengaruh PKI
|
TAP MPRS RI No.XXVII/
MPRS/1966 Bab II pasal 30
|
Membentuk manusia
Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketenutan seperti yang dikehendaki
oleh UUD 1945
|
-
Pembubaran
PKI
-
Munculnya
Orde Baru dengan semangat kembali kepada Pancasila dan UUD 1945
|
GBHN 1973
|
Membentuk
manusia-manusia pembangunan yang berPancasila untuk membentuk manusia
Indonesia yang sehat jasmani dan rohaninya, memiliki pengetahuan dan
keterampilan, dapat mengemabngkan kreativitas dan tanggung jawab, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
mencintai bangsanya dan mencintai sesama manusia sesuai dengan ketentuan yang
termasuk dalam UUD 1945
|
Kebijakan politik
pembangunan dalam Repelita I.
|
GBHN 1978
|
Pendidikan nasional
berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan ketawaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat memebangun dirinya sendiri
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
|
Kebijakan politik
pembangunan dalam Repelita I
|
GBHN 1983
|
Menigkatkan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yahg Maha Esa, kecerdasan dan keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan
cinta tanah air, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang
dapat memabngun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas
pembangunan bangsa.
|
Kebijakan politik
pembangunan dalam Repelita II
|
GBHN 1988
|
Meningkatkan kualitas
manusia Indonesia manusia Indonesia, yaitumanusia yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadia,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggungjawab, mandiri, cerdas, terampil,
serta sehat jasmani dan rohani.
|
Kebijakan politik
pembangunan dalam Repelita III dan menguatnya pengaruh Umat (Islam)
|
Sisdiknas 2003
|
Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan memebentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratif
serta bertanggungjawab
|
Kebijakan reformasi
pendidikan nasional
|
Diolah dari berbagai sumber.
TABEL VI
SISTEM PERSEKOLAHAN UUSPN NO.2 TAHUN 1989
Usia
24
|
Pendidikan
Tinggi
|
Doktor (S-3)
|
Program
Doktor
(S-3)
|
Spesialis II
(SP II)
|
|||
23
|
Magister
(S-2)
|
Program
Magister (S-2)
|
Spesialis I
(SP I)
|
||||
22
|
Sarjana
(S-1)
|
Program
Sarjana
(S-1)
|
Diploma 4
(D-4)
|
Diploma 3 (D-3)
|
Diploma 2
(D-2)
|
Diploma 1
(D-1)
|
|
21
|
|||||||
20
|
|||||||
19
|
18
|
Pendidikan
Menengah
|
Madrasah
Aliyah
(MA)
|
Sekolah
Menengah Umum (SMU)
|
Sekolah
Menengah
Kejuruan
(SMK)
|
17
|
||||
16
|
15
|
Pendidikan
Dasar
|
Madrasah
Tsanawiyah (MTs)
|
Sekolah
Lanjutan
Tingkat
Pertama
(SMP)
|
14
|
|||
13
|
|||
12
|
Madrasah
Ibtidaiyah
|
Sekolah
Dasar
|
|
11
|
|||
10
|
|||
9
|
|||
8
|
|||
7
|
|||
6
|
5
|
Pra-Sekolah
|
Bustanul
Athfal (BA)
Raudhatul
Athfal (RA)
|
Taman
Kanak-Kanak
|
B. Perkembangan Pendidikan pada Masa Reformasi
Sejalan
dengan adanya berbagai perbaikan politik tersebut di atas, telah menimbulkan
keadaan pendidikan era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan era reformasi, kebijakan itu antara lain:
keadaan pendidikan era reformasi keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama,
kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari Sistem pendidikan
nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional. Jika
pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk
dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan
Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional. Dengan masuknya
pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke
dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi
pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan
diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan
peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan
Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan
Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga
tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah
Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan
tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada
ditetapkannya anggaran pendidikan islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya
operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan
buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan
sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian
Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan
yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan,
dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya,
termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga, program
wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan
minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi
anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang
berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi
anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan
Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan
Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu
pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan
internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang
akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf
SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat
pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan
juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn
sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum
maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian
Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan
Agama. Program ini terkait erat dengan
peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang
profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut
dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, juga
mengalokasikan anggaran biayanya sebesar 20% dari APBN. Melalui program
sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching
skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen
ditingkatkan.
Keenam, pengembangan
kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak
hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)`sebagaimana yang
ditekankan pada kurikulum 1995, melainkan juga dituntut memilki pengalaman
proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami,
menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan
menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki
rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif
dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat
menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang
terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan
pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris)
melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid
(student centris) melalui kegiatan learnig (belajar)
dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif,
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang
digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi,
seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar
mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil,
dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan
melainkan juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan
masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.
Kedelapan, penerapan
manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan (to
give good service and satisfaction for all customers). Dengan
pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar
komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi
dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus
dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya
manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan
pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di
zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi:
1.
Standar Isi (kurikulum)
2.
Standar Mutu
Pendidikan
3.
Standar Proses Pendidikan
4.
Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
5.
Standar Pengelolaan
6.
Standar Pembiayaan
7.
Standar Penilaian.
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum
yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah
umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain
para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umu seperti SD,
SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika
suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan
nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan
masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan
kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan telah
bangyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk
menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah
menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya
dengan baik. Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan
proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga
dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan
para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang dilaksanakan.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian
dan analisis sebagaimana tersebut diatas, maka dapat di kemukakan beberapa
catatan penutup sebagai berikut.
Pertama, pemerintah di era reformasi lahir sebagai koreksi,
perbaiakan, dan penyempurnaan atas berbagai kelemahan kebijakan pemerintah Orde
Baru yang dilakukan secarah menyeluruh, yang meluputi bidang politik,
pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Berbagai kebijakan tersebut diarahkan
pada sifat yang lebih demokratis, adil, transparan, akuntabel, bertanggung
jawab dan fairness dalam rangka mewujudkan masyarakat
yang adil, makmur, tertib, aman, dan sejahterah.
Kedua, Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan
kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa,
intelek, diri manusia yang rasional perasaan dan indera. Dengan
demikian pendidikan menyandang misi keseluruhan aspek kebutuhan hidup serta
perubahan-perubahan yang terjadi, dan pemerintahan di era reformasi teleh
melehirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang
pengaruhnya langsung dapat dirasakan masyarakat.yaitu, kebijakan tentang
pembaruan Undang-undang sistem pendidikan nasional dari Undang-undang Nomor 2
Tahun 1989 menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 peningkatan jumlah
anggaran pendidikan yang amat signifikan, yakni dari yang semula hanya 5%
menjadi 20% dari total anggaran APBN, perubahan kurikulum dari subjek matter ke
arah pengembangan para kompetensi para lulusan, peningkatan mutu pendidikan
melalui program sertifikasi, perubahan paradigma strategi, pendekatan dan
metode pembelajaran ke arah yang lebih terpusat pada peserta didik (studen
center).
Ketiga, barbagai kebijakan pemerintahan era roformasi dalam
bidang pendidikan tersebut berlaku bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung
di bawah kementrian pendidkan nasional saja, melainkan juga berlakau bagi
madrasah dan perguruan tinggi agama yang bernaung di bawah kementrian agama. Dengan
demikian kesan dikotomis antar pendidikan agama dan pendidikan umum, dan kesan
perlakuan diskriminasi pemerintah terhadap pendidikan agama sudah tidak tampak
lagi.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan
Nasional, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional).
http://masarevormasi.blogspot.com/2012/07/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html acessed, 09
october 2013. 09.47 am.
Assegaf, Abd.Rachman, Politik
Pendidikan Nasional Pergeseran Kebijakan Pendidikan Agama Islam dari
Praproklamasi ke Reformasi (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005)